Sekitar Pendidikan (13-15)
13 Manusia modern
Ukuran kemodernan mengacu pada budaya Barat. Budaya Barat sendiri adalah produk revolusi industri. Dalam dunia industri, manusia dipandang tidak lebih dari robot-robot untuk mengoperasikan mesin-mesin industri. Dalam masyarakat modern, agama, nilai-nilai moral tidak diperlukan, karena ia tak dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Agama merupakan penghalang kemajuan, kemodernan.
Kasus-kasus keluarga seperti perceraian, penyelewengan suami atau isteri, gadis yang hamil sebelum nikah, pengguguran kandungan, pasangan kumpul kebo, sudah dipandang sah, legal, lumrah, wajar. Sudah dipandang biasa, bila suami menganiaya isteri, isteri lari meninggalkan keluarga, orangtua berlaku kejam terhadap anak, anak membangkang dan menentang orangtua, yang frustasi bunuh diri, dan lain-lain.
Cengkeraman penjajahan Barat berhasil memporakporandakan moral keluarga, sehingga ia tidak mampu membebaskan dirinya dari penjajahan kultural, penjajahan mental.
Will Durant (penulis History of Civilization) menyebutkan bahwa "Seabad yang lalu di Inggeris (demikian dituturkan) kaum pria mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Namun plakat-plakat mengundang mereka amengirimkan isteri dan anak-anak mereka ke pabrik-pabrik. Para majikan hanya berpikir dalam batasan-batasa keuntungan dan dividen, dan tidak ambil peduli terhadap pertimbangan-pertimbangan moral, lembaga-lembaga, atau negara-negara. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, usahawan pemilik pabrik berupaya membangkitkan gairah kaum wanita untuk bekerja di perusahaan-perusahaan mereka. Melalui iklan-iklan, politik kapitalis menciptakan kebutuhan-kebutuhan semu. Untuk dapat memuaskan kebutuhan tersebut, maka pemuja barang konsumsi ramai-ramai mendapatkan kerja di kantoran atau di perusahaan, baik pria maupun wanita. Orang-orang yang dengan ceroboh bersekongkol untuk "menghancurkan" rumah tangga adalah pengusaha pabrik Inggeris yang patriotis dari abad ke-19.
Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, usahawan pemilik pabrik berupaya membangkitkan gairah kaum wanita untuk bekerja di perusahaan-perusahaan mereka. Pengusaha pabrik merupakan pemegang saham penghancur rumah tangga. Melalui iklan-iklan, politik kapitalis menciptakan kebutuhan-kebutuhan semu. Untuk dapat memuaskan kebutuhan tersebut, maka pemuja barang konsumsi ramai-ramai mendapatkan kerja di kantoran atau di perusahaan, baik pria maupun wanita.
Manusia modern adalah manusia jingkrak-jingkrak (super aktif), manusia sibuk. Tidak ada istirahat. Tidak ada ketenangan. Tidak ada renungan. Tidak ada ketenteraman hati. Tidak ada keteduhan perasaan. Tidak ada kasih sayang. Tidak ada kemesraan keluarga. Yang ada keresahan rohani, ketegangan saraf, kenikmatan semu, kegembiraan hewani. Senantiasa "halu’a". Sibuk di tempat kerja. Sibuk ketika istirahat. Sibuk hidup nafsi-nafsi (individualisme). Penuh nafsu penumpukan harta. Takatsur. Rakus. Tamak. Avarice (emangnya lu gue pikirin). Jalan sendiri-sendiri. Mementingkan diri pribadi sendiri. Masing-masing asing satu sama lain. Masing-masing sibuk dengan karir/profesi/kegiatan mencari uang demi memenuhi kepuasan diri pribadi yang tak akan ada habisnya. Masing-masing bekerja sendiri-sendiri, memecahkan persoalannya sendiri-sendiri. Komunikasi antar keluarga hanya membuang waktu dan energi, tidak efisien, tidak efektif, tidak produktif.
Manusia modern menghabiskan hidupnya dalam lingkungan yang bercorak pabrik (yang bergaya industri) yang senantiasa berhubungan dengan mesin. Dibesarkan dan dididik dalam pendidikan bersuasana, bergaya pabrik. Sekolah formal merupakan pendidikan massal yang menekankan kedisiplinan terhadap waktu, kepatuhan dan rutinitas kerja. Pekerja harus datang tepat waktu, melaksanakan perintah tanpa bertanya-tanya, melakukan pekerjaan secara rutin. Aktivitas produk sekolah formal tak lebih dari robot-robot (manusia robot).
Di antara ajaran, himbauan Islam adalah bahwa tidak mempersekutukan sesuatunya dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh, tidak berbuat dusta, tidak mengadakan tuduhan palsu, tidak keberatan melakukan urusan baik. Demikian disimak dari QS Mumtahanah 60:12.
KH Irfan Zidny MA dalam HARIAN TERBIT (Rabu, Juli 1996, hlm XI) menceritakan bahwa Rasulullah pernah memberi nasehat kepada Mu’adz bin Jabal agar bertaqwa kepada Allah, bebicara benar, memenuhi janji, memenuhi amanat, tidak berbuat khianat, memelihara hubungan bertetangga, menyayangi anak-anak yatim, berbicara santun, senang mengucapkan salam, bekerja dengan baik, tidak berkhayal, beriman yang kuat, memahami makna al-Qur:an, mencintai perbuatan yang mengantarkan ke surga (akhirat), takut kepada sanksi Allah, rendah hati, tidak mudah mencela pemerintah, tidak mudah menuduh bohong kepada orang lain, tidak berkawan mengerjakan perbuatan dosa, tidak menentang pemimpin pemerintah, tidak berbuat kerusakan diatas bumi, takut kepada Allah dimana saja, menganjurkan untuk bertaubat.
Manusia itu makhluk mulia. Bila ia mengacu pada makhluk rendah (mengikuti kebebasan hewani), maka jatuhlah ia ke peringkat terendah (lebih jorok dari hewan, tanpa rasa malu). Kaum isteri modern merasa gerak langkahnya tak bebas, terhalang. Ia dibebani/diberati dengan tugas-tugas mengurus anak-anak, mengurus rumah tangga. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Anak-anak dirasakan sebagai beban, penghalang. Padahal kehadiran anak adalah juga tas kemauannya sendiri. Lebih dari separuh dari responden yang ditanya dalam suatu angket yang pernah dilakukan di daerah Detroit menjawab, bahwa ANAK MENGEKANG KEBEBASAN WANITA. Seyogianya ia tak menjadi isteri. Untuk yang tak mau menjadi isteri, juga untuk yang tak mau menjadi suami, jaman edan menyhediakan beraneka boneka dan sarana pemenuhan kebutuhan biologis. Bahkan ada toko-toko yang menyediakan alat-organ seks imitasi-kopian secara bebas (KOMPAS, 3 September 1996, hlm 21, Dahil Sayo – Karena Engkau).
Manusia modern menuntut kebebasan tanpa batas (kebebasan kal:an’am, kebebasan hewani, bebas moral). Bebas menentukan dan menggunakan waktunya untuk melakukan aktivitas bagi pengembangan karir/profesinya dan aktivitas dalam keorganisasian/kemasyarakatan. Bebas memenuhi kebutuhan biologisnya dengan sarana hasil kreasi jaman edan. Bebas melakukan kemunkaran, kemaksiatan, kemesuman, kecabulan. Bebas melakukan hubungan seksual. Bebas berganti pasangan. Bebas melakukan SBM (sex before marriage). Bebas dari kecemburuan. Bebas dari ikatan dan tanggungjawab. Ikatan perkawinan tak dipoerlukan. Mengukuhkan kesopanan serta kesucian diri dan menjaga kehormatan pribadi serta persoaln keperawanan harus ditanggalkan dan ditinggalkan. Bebas dari mengurus anak. Bebas dari mengurus rumah tangga. Mengurus rumah tangga, mengurus anak adalah pekerjaan hina yang hanya layak diurus/dikerjakan oleh pembantu rumah tangga (PRT). Tugas mengasuh, merawat anak harus diambil alih oleh negara, yaitu di tempat penitipan anak (TPA). Negara harus menggantikan, mengambil alih peran orangtua. Bila menginginkan anak, tinggal pesan saja bayi hasil rekayasa genetika modern. Bebas untuk melahirkan atau menggugurkan. Hamil, melahirkan dan menyusui adalah suatu profesi yang harus menghasilkan uang. Karena itu wanita yang melahirkan anak haruslah dibayar dengan sejumlah tertentu. Tidak perlu semua, bahkan tidak sebagian besar wanita harus mengambil profesi melahirkan (petelor). Sitim keluarga patriarkal yang mencerminkan perbedaan antara kaum pria dan kaum wanita harus didobrak, diakhiri. Meskipun sains modern menyatakan bahwa terdapat perbedaan susunan jaringan, organ, sel serta sistim saraf antara pria dan wanita yang menyebabkan perbedaan kondisi fisik, psikis, watak, pembawaan, minat, hasrat, pola pikir, corak perasaan antara pria dan wanita. Semua serba boleh. Konsekwensi logis dari kebebasan seksual adalah penghapusan legitimasi anak dan penghapusan paternitas terhadap anak serta penghapusan garis keturunan/gentis. Jatuh terjerembab ke lembah "asfala safilin". Termasuk penghapusan hak, kewajiban, peran suaami, isteri, ayah, ibu, anak. Demikian disimak antara lain dari "keluarga Islam Menyongsong Abad 21", oleh Ibnu Musthafa.
Undang-undang dibuat untuk kepentingan umum serta untuk menyelamatkan (mengamankan) kepentingan yang membuatnya dan kepentingan yang diwakilinya.
Undang-undang yang berlaku dalam emaansipasi, yang mengatur hak-hak wanita pekerja pertama kai muncul di Inggeris pada tahun 1882, yang menetapkan bahwa sejak saat itu kaum wanita inggeris memiliki privilege (hak istimew) yang sebelumnya tidak pernah mereka miliki dalam memegang uang yang mereka terima. Undang-undang itu brsumber pada moral ajaran Kristiani, dan disodorkan/diusulkan oleh para pemilik pabrik di House of Commences untu/guna menggoda/menarik wanita Inggeris mau bekerja melayani mesin-mesin di perusahaan-perusahaan mereka, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Mulai kalai itu kaum wanita tertarik mengabdi di pabrik-pabrik dari pada melakukan pekerjaan rumah (Ibnu Musthafa : "Keluarga Islam Menyongsong Abad 21", hlm 51, dari Will Durant : "The Pleasure of Philosophy).
Undang-Undang Barat "yang beradab" tidak memberrikan hak memiliki dan memperoleh harta kepada wanita (independensi ekonomi, kebebasan dalam ekonomi). Pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan (konglomerat) mengeksploitasi hajat kaum wanita pada pekerjaan dan terus menerus memperlakukan wanita dengan perlakuan aniaya (exploitation de l’home par l’home).
Di negeri kampiun demorkasi, masih saja kepada wanita diberikan gaji/upah lebih rfendah/kecil dari yang diberikan kepada kaum pria dalam perusahaan dan pekerjaan yang sama, meskipun wakil-wakil wanita duduk di dalam badan perwakilan rakyat dan dalam eksekutif/manager perusahaan. Tingginya partisipasi wanita bekerja di luar rumah.
Wanita berjuang mendapatkan indpendensi, kedudukan dalam badan perwakilan rakayat, dalam jabatan-jabatan pemerintahan. Wanita yang senang bekerja, menurut penelitian yang pernah dilakukan, cenderung untuk berkuasa. Ia menuntut diberikan kekuasaan untuk mengatur masyarakat dan neara. Ia berupaya menggalang persatuan mendapatkan kebebasan, kemerdekaan, persamaan, menentang poligami (sekaligus mencerminkan egoisme, menolak kesetiakawanan sesama wanita).
Termasuk kebebasan seksual (kebebasan hewani) tanpa batas. Bebas memenuhi kebutuhan biologisnya dengan sarana hasil kreasi jaman edan (tiruan organ seks). Bebas berganti pasangan. Bebas melakukan kemunkaran, kemaksiatan, kemesuman, kecabulan. Bebas melakukan penyelewengan/penyimpangan seksual. Bebas dari kecemburuan.
Melakukan SBM (sex before marriage, kebebasan hewani) dipandang sebagai keharusan, mendobrak kemapanan norma-norma yang berlaku. Berbagai lokasi di kampus perguruan tinggi dijadikan para mahasiswa sebagai ajang hubungan seks bebas.
Pengertian kecabulan dan kemaksiatan diplintir, dimanipulir dari konteksnya. Mengantarkan pacar untuk melakukan aborsi tidak lagi dianggap asing/tabu. Praktek seks bebas (kebebasan hewani) berkembang di kampus-kampus kota besar.
Seorang isteri apabila kebetulan sedang di rumah, ia adalah milik suaminya. Namun jika ia sedang di luar rumah, ia milik siapa saja. Isteri punya PIL, dan suami punya WIL (teman idaman lain).
Bebas dari mengurus rumah tangga. Mengurus rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan hina yang hanya layak diurus/dikerjakan oleh pembantu rumah tangga.
Peran orangtua harus dihapuskan. Negara haruslah dapat menggantikan pran orangtua dalam mengurus, mengasuh, merawat anbak-Anak-anak diasuh dalam panti tempat penitipan anak (TPA). Negara-negara Skandinavia terkenal dengan sebutan Child Gulag, karena anak-anak yang diasuh oleh negara mencapai titik tertinggi di dunia.
Isteri yang merawat/mengasuh/menyusui anak-anak hendaklah diberi subsidi/gaji oleh negara (sebagai ibu asuh, ibu susuan pada TPA). Setelah anak-anak tidak lagi memerlukan perawatan/pengasunan, maka kaum isteri harus segera kembali melakukan profesinya, meneruskan karirnya.
Bebas untuk melahirkan atau menggugurkan. Seorang wanita terkenal berkebangsaan Inggeris pernah mengemukakan "kenapa hanya kaum wanita saja yang harus mengandung dan melahirkan, sedangkan kaum pria tidak usah mengandung dan melahirkan". Kaum wanita juga seharusnya tidak usah mengandung dan melahirkan. Bila seseorang menginginkan anak, tinggal pesan saja bayi hasil rekayasa genetika modern.
Hamil, melahirkan dan menyusui adalah suatu profesi yang harus menghasilkan uang. Karena itu wanita yang melahirkan anak haruslah dibayar dengan sejumlah tertentu. Tidak perlu semua, bahkan tidak sebagian besar wanita harus mengambil profesi melahirkan (petelor).
Sistim keluarga patriarkal yang mencerminkan perbedaan antara kaum pria dan kaum wanita harus didobrak, diakhiri. Meskipun sains modern menyatakan bahwa terdapat berdaaan susunan jaringan, organ, sel serta sistim saraf antara pria dan wanita yang menyebabkan perbedaan kondisi fisik, psikis, waktak, pembawaan, minat, hasrat, pola pikir, corak perasaan antara pria dan wanita.
Sebenarnya kondisi fisik wanita untuk mengandung, melahirkan, menyusui diimbangi dengan kondisi mental psikologis berupa kesabaran, ketabahan, ketelitian. Perasaan, jiwa, fikiran wanita dipersiapkan untuk mengemban tugas biologis seperti hamil/mengandung, melahirkan, menyusui. Karena adanya perbedaan dalam suswunan jasmani, perasaan dan juga tugas biologis, maka berbeda pula watak pria dan wanita dalam mengantisipasi tuntutan asasi masing-masing.
Bebas dari ikatan dan tanggungjawab. Suatu sa’at kelak tidak diperlukan lagi hubungan suami isteri. Lembaga keluarga merupakan sesuatu yang tidak harus dipertahankan. Bahkan sah dan legal hubungan seksual tanpa ikatan (kebebasan seksual). Menjaga kehormatan pribadi dan mengukuhkan kesopanan serta kesucian individu dan kehormatan diri, serta persoalan keperawanan dipandang sudah ketinggalan aman.
Konsekuensi logis dari kebebasan seksual adalah penghapusan legitimasi anak dan penghapusan paternitas terhadap anak, serta penghapusan garis keturunan/genetis. Termasuk penghapusan hak, kewajiban, peran suami, isteri, ayah, ibu, anak.
Dengan alat kontrasepsi, seorang dapat memilih siapa yang akan menjadi ayah dari benih yang dikandungnya. Teknik pembekuan sperma, inseminasi buatan, bayi tabung menggusur peran ayah dan peran ibu. Hampir 50% anak di Swedia dilahirkan oleh pasangan kumpul kebo.
Di kalangan Arab Jahiliyah dikenal empat macam perkawinan. Pertama, seorang pria meminang seorang wanita pada keluarganya. Lalu dikawinkan. Kedua, seorang suami yang tak punya anak, menyuruh isterinya memperdagangkan dirinya kepada pria lain (istib’adh). Ketiga, sejumlah pria (kurang dari sepuluh orang) menggauli seorang wanita. Wanita itu memilih salah seorang dari pria yang menggaaulinya tersebut sebagai ayah dari anak yang dilahirkannya. Keempat, sejumlah pria menggauli seorang wanita. Ahli keturunan (orang yang mengerti tentang nasab/silsilah keturunan) menentukan salah seorang dari pria yang menggauli wanita itu sebagai ayah dari anak yang dilahirkan wanita itu.
Kepada manusia yang jatuh ke lembah kehinaan (manusia ternak), yang bergelimang lumpur kejorokan dan kekejian, kepada yang buta hati, yang kelewat batas, yang seweang-wenang, yang merusak, yang kufur, yang jahil, yang zalim, yang fasik, yang merugi, yang berdosa, Islam menyampaikan himbauan, menghadapkan seruan. Sejak dulu sampai nanti, Islam menghimbau, menyeru agar berada pada jalan yang bersih, yang benar. Mengenali Khaliq. MempertuhankanNya saja. Tak ada Tuhan selain Dia. Memperhambakan diri hanya kepadaNya saja. Berbakti dan bertakwa hanay kepadaNya saja. Tidak mempersekutukanNya. Ta’at melaksanakan perintahNya dan perintah RasulNya. Mengenali diri sendiri sebagai makhluk mulia. Berbuat kebaiakan, kebajikan. Gemar melaksanakan perbuatan baik. Meninggalkan semua perbuatan dosa, perbuatan terlarang. Tidak berbuat keburukan, kejahatan. Tidak menjatuhkan diri ke lembah kehinaan, kehewnan. Memelihara kesucian diri. Tidak mengotori diri dengan perbuatan keji. Segera membersihkan diri dari segala perbuatan keji. Tidak mengejek yang menyamapaikan seruan, himbauan itu dengan julukan sok moralis. Tidak berbuat kemunkaran, kekejian, maksiat, makar, onar, serong, jorok. Berlaku benar, adil, jujur. Tidak berlaku curang, culas, angkuh. Mengharapkan kebahagiaan akhirat. Mensyukuri nikmat Allah. Berdzikir. Beristighfar, mohon ampunan Allah. Bertobat, berjaanji tak akan mengulangi perbuatan dosa. Seruan, himbauan itu untuk mendidik diri agar memperoleh keeruntungan, rahmat Allah.
Dalam hal ini model pendidikan Nabi Luth dapat dijadikan acuan.Kaum Nabi Luth adalah kaum yang amat jahil, yang kelewat batas, yang penuh dosa, yang rusak, yang jahat, yang fasik, yang zalim, yang kufur, yang tak mengindahkan peringatan (Sodomnya Swedia). Kaum nabi Luth gemar mengerjakan perbuatan keji, jorok tanpa merasa malu, yang tak pernah dikerjakan seorangpun sebelum itu, yaitu menyalurkan syahwatnya kepada sejenis dan bukan kepada pasangannya yang sah, serta mengerjakan kemunkaran. Kaum yang martabatnya lebih hina dari hewan ternak, yang tanpa malu mendatangi nabi Luth mendesak Nabi Luth mau menyerahkan tamu-tamunya yang berwajah tampan. Nabi Luth menasehati mereka agar melakukan perbuatan yang suci yang halal, yaitu mendatangi pasangan sendiri yang sah dan bukan mendatangi yang sejenis, serta bertakwa kepada Allah dan ta’at berbakti kepada Allah serta tidak berbuat onar. Tapi kaumnya mengejek Nabi Luth dan pengikutnya sebagai orang yang sok suci, sok moralis. (Di tanah air Indonesia pernah yang menolak judi dibentak untuk meninggalkan tempat kediamannya, karena wilayah itu dibangun dari hasil judi).
Akhirnya Nabi Luth menyerahkan hukumannya kepada Allah dengan memohon agar Allah menimpakan azab kepada mereka. Allah memperkenankan permohonan Nabi Luth. Allah mendatangkan azab berupa terbaliknya bumi, hujan batu panas dari langit (sebagi hukuman perbuatan mereka). Allah selamatkan Nabi Luth dan pengikutnya sebelum fajar menyingsing, kecuali isterinya dan yang bersekongkol bersamanya. (Berdasarkan ini, maka pelaku sodomi dijatuhi hukum bunuh). Kisah ini dapat dijadikan acuan dalam mengahdapi kerusakan akhlak (krisis moral, fahisyah), yang antara lain dapat disimak dari QS A’raf, Hud, Hijr, Anbiyaa, Syu’ara, Naml, ‘Ankabut, Shaffat, Dzariyaat, Qamar. (Bks 26-1-97)
14 Simalakama Pendidikan
Beraneka ragam pertanyaan di seputar pendidikan tetap saja terkatung-katung di hulu, tak sampai ke hilir (hampir-hampir tak pernah selesai secara tuntas). Antara lain : Manakh yang harus jadi subyek ? (dan mana pula yang harus jadi obyek ?). Apakah guru ataukah kurikulum ? Ataukah sebaliknya ? Apakah tabungan pendidikan perlu diadakan ? Apakah pengajaran Matematika dan IPA perlu dibenahi ? Apakah Pendidikan Budi Pekerti masih diperlukan ? Apakah peneliti amatir perlu ditumbuhkan ? Apakah Ebtanas perlu dipertahankan ? Ada yang menghendaki dihaspus. Ada pula ayang menghendaki dipertahankan, meskipun ada beragai penyimpangan.
Apakah NEM perlu dipertahankan ? Apakah sistim peringkat (ranking) perlu dipertahankan ? Ada yang memandangnya sebagai praktek pendidikan yang keliru. Ada pula yang memandang taka ada salahnya. Dan ada lagi yang memandangnya bukan suatu jaminan (dengan atau tanpa peringkat).
Tolok ukur pendidikan itu apa ? Sementara pengamat menganggap bahwa anak didik yang cerdas adalah yang mampu banyak menbghapal. Anak didik yang baik adalah yang patuh pada guru dan yang mampu mereproduksi apa yang sudah diajarkan oleh guru atau yang tertera di buku secara persis (siswa beo-robot). Jumlah kelulusan dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan, juga keberhasilan guru, kepala sekolah, bahkan Kanwil Depdikbud. Pengamat lain mengusulkan agar anak didik diransang untuk memiliki kebaranian untuk berani bertanya, mencoba, diberi kesempatan berbeda pendapat dengan gurunya dan membuat alternatif lain. Berbeda pendapat bukan sesuatu yang kurang ajar. Mungkin yang disampaikan itu salah, tapi jangan begitu muncul berbeda lalu sudah dilarang, meskipun guru perlu meluruskannya/memperbaikinya kemudian. Ketidakberanian bertanya dapat menumbuhkan kurang percaya diri yang nantinya berkembang menjadi budaya minta petunjuk, budaya takaut berbeda pendapat.
Adalah penting membudayakan anak bertanya dan mengemukakan ide (bertanya kreatif dan alternatif). Di Perguruan Tinggi di Amerika, mahasiswa yang mendebat sang Dosen mendapat acungan jempol.
Pendidikan kita hendak kemana ? Sementara pihak menghendaki gungsi pendidikan ialah mencerdaskan bangsa, menjadi inovator, mengubah lingkungan (stimulator), memberti sumbangan kepada kemajuan ekonomi dan seterusnya. Pihak lain memandang bahwa strategi pendidikan dewasa ini mestinya mengacu pada kemampuan dalam IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) untuk mengembangkan ekonomi dan bukan lagi pada keunggulan dalam ilmu-ilmu humaniora. Pendidikan tak perlu lagi bersusah payah menanamkan kesadaran tentang kebebasan, kemerdekaan, keadilan, serta hak-hak manusia, tetapi cukuplah menyajikan IPTEK dan ekonomi yang langsung berdampak pemenuhan kepentingan di bawah pusar/pinggang (perut dan kelamin versi Freud). Pendidikan berfungsi untuk menyiapkan tenaga kerja untuk mengerjakan teknik-administrasi/operasi dengan lancar, yang memiliki ketrampilan memijat tombol dalam industri mekanis (the push button skills in a mechanized industry) untuk memperbesar modal (kekayaan) para pemilik modal (konglomerat).
Dulu pemerintah kolonial Belanda pernah mencetak inlanders-alat dalam produksi, perdagangan, administrasi, kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan kepenjaraan kolonial. Kini rakyat harus bekerja keras dalam rangka meningkatkan komoditi untuk kepentingan kolusi konglomerat-birokrat-teknokrat, dalam rangka merintis "sistim-cultur-stelsel gaya baru", karena kehidupan kaum melarat tergantung dari kantong para konglomerat (Engkongnya si Melarat).
Sekolah harus mengabdi pada SDM (Sumber Daya Manusia/Insani) yang diperlukan bagi industri. Sekolah mesti memberikan yang terbaik pada para pelaku ekonomi. Sekolah harus mengabdi pada industri.
Sistim ganda di lingkungan sekolah kejuruan (sekolah kerja) bertujuan untuk mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia industri dan menyeimbangi perkembangan/kemajuan teknologi yang sangat pesat.
Pendidikan harus mengabdi pada konglomerat (lokal dan asing). Karena itu kalangan pengusaha/dunia usaha dituntut untuk berperan aktif menyumbangkan dana, tenaga, pemikiran (funds and forces, material and spiritual, duit dan ide) bagi dunia pendidikan yang nantinya akan berkiprah/mendukung bagi peningkatan/kemajuan dunia industri. Organisasi-organisasi perusahaan sejenis (traders unions) pemilik modal seyogianya menyelenggarakan kurusus-kursus latihan kerja untuk mendidik tenaga kerja yang memiliki ketrampilan khusus yang mampu melayani mesin otomatis.
Dulu pernah didirikan "Sekolah Pembangunan" (comprehensive educational programs, a la Amerika) sekitar tahun 1970, tetapi akhirnya mengalami kegagalan, tersingkir/terdepak/tergusur ke pinggir oleh industri pabrik milik para konglomerat. Kemudian menyusul "Sekolah Teknologi Pembangunan" yang mengajarkan ketrampilan dasar (the basics skills).
Pendidikan yang berorientasi pada industri besar (pabrik raksasa) disadari atau tidak telah mengancam kelangsungan kehidupan industri rumah tangga (kerajinan tangan) yang padat karya, yang banyak menyerap/menyedot tenaga kerja. Industri rumah tangga komponen/barang elektronika di desa Cisantan, Cigugur, Kuningan yang dikelola oleh Karang Taruna setempat misalnya dapat saja terancam oleh keberadaan pabrik komponen elektrronika.
Dulu setelah Proklamasi, sebelum ORLA ada gagasan nasionalisasi modal/perusahaan asing (khususnya kolonial Belandan dan Jepang). Tapi kini malah berangkulan, bermesraan, mengundang modal/perusahaan asing (materialisme-kapitalisme) menjadi raja (tuan rumah) di tanah air sendiri (yang sudah merdeka), dengan dalih bahwa kita masih perlu waktu untuk melakukan alih teknologi maju-canggih ke bumi terkaya ini. Kini di kawasan industri Cikarang tersedia lahan kawasan industri bagi ratusan ivestor. Tak diberitakan berapa jumlah kekayaan rakyat setempat yang tergusur, tersedot. Juga tak tak diberitakan seberapa jauh tingkat kesejahte4raan rakyat sekitar kawasan industri naik dengan keberadaan investgor ini. Dan seberapa jauh sumbangan investor terhadap pembinaan SDM (termasuk sarana/prasarana pendidikan dan peribadahan) rakyat sekitar.
Kecerdasan (otak), kemaaauan, kemampuan dan kesempatan harus berhadapan dengan survival of the fittest dalam mengantisipasi segala ketinggalan, baik di bidang hukum, teknologi, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain sebagainya. Mengacu pada tujuan pendikan nasional, sudah berapa prosenkah kenaikan tingkat manusia Indonesia yang berkreasi dan berketrampilan tinggi, yang berakhlak dan berkepribadian luhur, yang berjiwa kesetiakawanan sosial, yang telah merasakan kemakmuran ? (gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta reharja).
Mutu pendidikan kita bagaimana ? Masalah kurikulum, kemampuan guru, anggaran serta prasarana pendidikan yang kurang memadai, merupakan sebagian unsur pengganjal, penyebab masalah mutu pendidikan. Kedudukan dan kehidupan ekonomi para guru dan pengajar di Indonesia sangat memprihatinkan, menyedihkan, memilukan. Banyak guru yang merasa terasing dari masyarakatnya, terisolasi dari perkembangan IPTEK, entah karena situasi ekonomi, maupun situasi budaya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, antara lain agar anggaran pendidikan dan kesejahteraan guru diprioritaskan. Di samping itu perlu diciptakan sikon/suasana yang menunjang sehingga guru menjadi mandiri, merdeka, memiliki otonomi, tak terikat dan terbelenggu secara ketat oleh lingkungan dalam pelbagai jaringan sistim birokrasi. Guru tidak lagi menjadi budah pemerintah daerah, pemerintah pusat, BP7 dan tuntutan masyarakat. Guru yang bebas, yang kreatif, yang otonom, secara obyektif lebih mampu menghasilkan produk pendidikan yang bermutu.
Anak didik harus dipicu dan dipacu untuk melakukan kompetisi, menjadi manusia yang kompentitif, yang bersedia bersaing/bertanding memenangkan kompetisi, sekaligus mengalahkan lawan. Diiuskan bahwa manusia yang tempat tinggalnya beriklim panas (tropical man) seperti manusia Indonesia, bermental santai, bermalas-malas, berwatak kolektif (perkawanan, kerjasama, gotong royong), takut bertanding/berkompetisi sendirian. Sedangkan manusia yang kondisi alam tempat mereka hidup bermusim salju (dingin) memiliki sikap mental, etos kerja yang tinggi. Bekerja dan berpikir keras menjadi tradisi dalam kehidupan mereka. Punya watak individualistis, kompetitif (berani bertanding, berkompetisi sendiran). Amak-anak oleh sistim pendidikan disiapkan hanya untuk melayani kebutuhan konglomerat yang menguasai industri (KOMPAS, Rabu, 23 April 1997, hlm 5, "Terkait dan Sepadan ?" (Link and Match), oleh Like Wilardjo). Meskipun sama-sama non-tropical man, Jepang baru maju setelah Restorasi meiji, sedangkan Eropah setelah Revolusi Industri, juga negara selatan kalah maju dari utara. Sebelum Revolusi Industri, kehidupan non-tropical man tak lebih maju dri tropical man. Apa jasa, sumbangan kebijakan pemerintahan, pendidikan terhadap Revolusis Industri.
Di Indonesia mudah sekali mendapatkan pembantu dan gajinya rendah sekali, sehingga orang asing yang berdiam di Indonesia dapat bersantai, bertanding, berkompetisi sendiran). Amak-anak oleh sistim pendidikan disiapkan hanya untuk melayani kebutuhan konglomerat yang menguasai industri (KOMPAS, Rabu, 23 April 1997, hlm 5, "Terkait dan Sepadan ?" (Link and Match), oleh Like Wilardjo). Meskipun sama-sama non-tropical man, Jepang baru maju setelah Restorasi meiji, sedangkan Eropah setelah Revolusi Industri, juga negara selatan kalah maju dari utara. Sebelum Revolusi Industri, kehidupan non-tropical man tak lebih maju dri tropical man. Apa jasa, sumbangan kebijakan pemerintahan, pendidikan terhadap Revolusis Industri.
Di Indonesia mudah sekali mendapatkan pembantu dan gajinya rendah sekali, sehingga orang asing yang berdiam di Indonesia dapat bersantai, bermalas-malas, karena pekerjaan rutin sehari-hari dikerjakan oleh beberapa orang pembantu rumah tangga (PRT). Tapi di Inggeris, yang mampu menggaji seorang pembantu adalah para milyuner.
Richard Dawkins (The Selfish Gene, 1976) menyebutkan bahwa hanya kebudayaan yang terkuat saja yang akan mampu bertahan hidup. Demikian juga individu, masyarakat, bangsa yang kuat yang akan bertahan (dalam survival of the fittest). Yang kuat dan yang lemah harus bertanding dalam kedudukan yang sama agar tetap bvisa hidup. (Tak ada Kesetiakawanan Sosial).
Pendidikan hendaknya dilihat sebagai sebuah usaha bangsa untuk menyejahterakan dirinya untuk mengejar ketertinggalannya. Pendidikan sebagai bagian dari proses produksi bangsa dan upaya mempertahankan diri di tengah kompetisi global.
Pendidikan membutuhkan sebuah idealisme dalam mendidik norma. Tapi sayangnya dari hari ke hari norma-norma aturan kehiduapn diinjak terus-menerus. Terjadi krisis keteladanan. Inilah ironinya. Suatu simalakama pendidikan.
15 Mencerdaskan bangsa mengabdi industri ?
"Sekolah harus mengabdi pada pembinaan SDM (Sumber Daya Manusia) yang diperlukan bagi industri". "Sekolah mesti memberikan yang terbaik pada para pelaku ekonomi". "Sekolah harus mengabdi pada industri". Demikian antarra lain intisari materi sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro pada peresmian pelaksanaan sistem ganda empat sekolah kejuruan di lingkungan PT Indonesia di Jakarta, Senin, 26 Juni 1995 (KOMPAS, Selasa, 27 Juni 1995, hlm 9, klm 1). Dalam bahasa pasaran "pendikan harus mengabdi pada konglomerat". ?
AA Navis mengemukakan bahwa ukuran kemajuan suatu bangsa pada z\aman kini terletak pada "kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berfungsi mengembangkan ekonomi, dan bukan lagi pada keunggulan humaniora seperti yang berlaku di abad lalu" (KOMPAS, Senin, 7 Agustus 1995, hlm 4, jlm 7, "Strategi Pendidikan nasional"). Tersirat bahwa "pendidikan tak perlu lagi bersusah payah menanamkan kesadaran tentang kebebasan, kemerdekaan, keadilan, serta hak-hak manusia, tetapi cukuplah menyajikan IPTEK dan ekonomi yang langsung berdampak bagi pemenuhan kepentingan di bawah pusar-pinggang (perut dan kelamin versi Freud)".
Dalam hubungan ini lebih lima puluh tahun yang lalu, Tan Malaka (bagaimana pun pernah disebut sebagai Bapak Revolusi Indonesia, dan juga pernah disebutkan tak turut terlibat dalam peristiwa komunis di Madiun di bulan September 1948, yang barangkali nasibnya seperti Chairul Saleh yang dinyatakan tidak terlibat G30S/PKI oleh Panglima TNI-Ad Jenderal Soeharto, seperti diungkapkan dalam KOMPAS, Rabu, 5 Juli 1995, hlm 20, klm 6), melihat dalam perekonomian, bahwa bumiputera (si Inlander) menurut Belanda bisa hidup dengan sebenggol sehari (sekarang, kalikan saja 1000.000), sedangkan seorang pengemis di negeri Belanda bisa mudah menjadi "Tuan Besar" di kebon dan di tambang di Indonesia.
Sistim rodi cultuur stelsel dirobah menjadi sistim Vrije-Arbeit (kerja merdeka) a la Malafeit. Rakyat Indonesia diberi latihan dan pelajaran sekolah. Setiap tahun dicetak inlanders-alat produksi, perdagangan, adminsitrasi, kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan kepenjaraan kolonial. Demikian antara lain hasil pengamatan Tan Malaka, yang dalam minimum programnya pernah antara lain menggerakkanKesatuan Aksi (United Actie, Persatuan perjuangan) untuk mensita, membeslag, menyelenggarakan pertanian, kebon, perindustrian, pabrik, bengkel, tambang milik musuh Republik Indonesia, pada pertengahan Januari 1946 di Solo.
Apakah kini rakyat juga harus bekerja keras dalam rangka meningkatkan komoditi untuk kepentingan konglomerat, dalam rangka merintis "sistim-cultuur-stelsel gaya baru" ? (dengan dalih ahwa kehidupan para kaum melarat tergantung dari kantong para konglomerat ?).
Dulu setleh proklamasi, sebelum ORLA ada gagasan nasionalisasi modal, perusahaan asing (khususnya kolonial Belanda dan Jepang). Tapi kini malah berangkulan, bermesraan, mengundang modal, peruisahaan asssing (materialisme-kapitalisme) menjadi raja (tuan rumah) di tanah air sendiri (yang sudah merdeka) (dengan dalih ahwa kita masih perlu waktu untuk melakukan alih teknologi maju, canggih ke bumi terkaya ini).
Di Cikarang (Industrial Estate Jabebeka) tersedia lahan kawasan industri bagi 340 investor (KOMPAS, Selasa, 4 Juli 1995, hlm 17, iklan). Berapa jumlah kekayaan rakyat setempat yang tergusur, tersedot ? Seberapa jauh tingkat kesejahteraan rakyat sekitar kawasan industri dapat diharapkan naik dengan keberadaan investor ini ? Seberapa jauh sumbangan investor terhadap pembinaan SDM 9termasuk sarana, prasarana pendidikan dan peribadahan) rakyat sekitar ?
Dalam kaitan ini barangkali patut juga disimak pandangan Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro Jakti pada pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di Fakultas Ekonomi UI tanggal 17 Juni 1995, bahwa kecerdasan (otak), kemauan, kemampuan dan kesempatan haruslah berhadapan dengan survival of the fittest dalam mengantisipasi segala ketinggalan kita, baik di bidang hukum, teknologi, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain sebagainya (KOMPAS, Minggu, 20 Agustus 19995, hlm 2, klm 1-9, wawancara KOMPAS dengan Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti).
Hitam atas putih, tujuan pendidikan masih saja tetap seperti tertuang dalam GBHN-1978 (TAP NO,IV/MPR/1978), yang berbunyi : "Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk menimbulkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat keangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa". Demikian TAP MPR IV/1978 (Lihat juga UU No.2 tahun 1989, pasal 4, Dr H Amiruddin Rasyad, dkk : "Pengabdian dalam bidang pendidikan", SESOSOK PENGABDI, 1980, hlm 1)
Setelah lebih lima puluh tahun Indonesia Merdeka, sudah berapa prosenkah kenaikan tingkat manusia yang berjiwa pancassislais, yang bertakwa kepada Allah, yang berkreasi dan berketrampilan tinggi, yang berakhlak, berkepribadian luhur, yang berjiwa patriotisme, kesetiakawanan sosial, yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan keadilan dan kesejahteraan, yang telah merasakan kemakmuran ? (gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta reharja). (Bks 31-8-95)
1