Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Wednesday, May 25, 2011

Islam dan Tatanegara
Butir-Butir
Pengarahan Islam tentang ketatanegaraan
Oleh : Asrir

1. Tatanegara
Tatanegara membicarakan susunan pemerintahan negara dan bagian-bagiannya. Tatanegara Islam membicarakan susunan pemerintahan negara Islam dan bagian-bagiannya.
2. Negara
Neara ialah sekelompok orang (rakyat) yang bercita-cita akan bersatu, yang hidup dalam satu daerah tertentu, yang dipimpin oleh suatu pemerintahan yang berdaulat ke dalam dank e luar, yang mempunyai ikatan bersama.

Unsur-unsur negara terdiri dari :
1. Rakyat yang bercita-cita untuk bersatu
2. Ketaatan raakyat kepada aturan tertentu
3. Daerah tertentu
4.Pemerintahan yang berdaulat ke dalam dank e luar
5. Kesamaan tujuan.

Negara modern hanya bisa hidup bertahan dengan aman, bila juga mempunyai sekurang-kurangnya tiga syarat lain :
1. Perindusterian
2. Bahan logam mentah
3. Geografis strategis, tempat duduk/letak yang penting untuk siasat perang dalam hal membela diri.

Negara Islam dibangun atas dasar akidah Islamiyah yang undang-undangnya bersumber pada akidah tersebut. Dalam Islam, negara merupakan sarana untuk terlaksananya hukum-hukum Islam dalam semua urusan kenegaraan dan tersiarnya dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Sasaran dan tujuan negara dalam Islam adalah :
1. untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia
2. untuk menghentikan kezhaliman
3. untuk menghancurkan kesewenang-wenangan
4. untuk menegakkan sistim berkedaan dengan :
a. mendirikan shalat
b. mengeluarkan zakat
5. untuk menyebarkan kebaikan dan keb ajikan
6. untuk memerintahkan yang makruf
7. untuk memotong akar-akar kejahatan
8. untuk mencegah kemunkaran.

Unsur-unsur negara Islam pertama di Madinah (sebagai negara kota) dengan :
1. Ummat Islam (Muhajirin dan Anshar) sebagai rakyat
2. Hukum Islam (Konstitusi) sebagai undang-undang yang dita’ati
3. Madinah sebagai daerah yang didiami
4. Rasulullah sebagai Kepala Negara yang dita’ati.

Catatan :
Sebutan negara dalam Islam, adakalanya khilafah, dalah, kesultanan. Khilafah adalah lemaga kekuasaan (negara dan pemerintahan) yang mengemban tugas risalah di dalam memeliharaa, mengurus, mengembangkan, menjaga agama (da’wah) serta mengatur urusan kepentingan ummat. Khilafah mencakup Imamah dan Imarah. Pemegang kekuasaan khilafah disebut Khalifah. Pemegang kekuasaan imamah disebut Imam. Pemegang kekuasaan imarah disebut Amir. daulah berarti neara. Kedaulatan serumpun dengan dalah.

Sistim pemerintahan yang terlepas dari hukum Allah, bukanlah khilafah. Pembentukan khilafah didasarkan atas beberapa prinsip :
1. Tauhid, KeMahaEsaan Allah, Kekuasaan Perundang-undangan Ilahi
2. ‘Adalah Ijtim’iyah, Keadilan Sosial, Keadilan antara manusia
3. Ikhwah Diniyah, Persaudaraan dan Persatuan (Persamaan antara kaum Muslimin)
4. Syura, MusyawarahPermusyawaratan
5. Takaful Ijtima’I, Tanggungjawab sosial bersama, Tanggjungjawab pemerintah
6. Keta’atan dalam hal kebajikan
7. Terlarang berusaha mencari kekuasaan/jabatan untuk diri sendiri8. Tujuan adanya negaraa
9. Amar bil ma’ruf, nahi ‘anild munkar.
Mendirikan khilafah merupakan kewajiban fardhu kifayah bagi ummat Islam.
3. Kedaulatan/Kekuasaan, Pembatasan kekuasaan
Kedaulatan berarti kekuasaan yang tertinggi. hanya Allah sajalah yang mempunyai otoritas/kekuasaan tertinggi. Yang berdaulat dalam negara Islam adalah Hukum Allah (Kedaulatan Hukum Ilahi) yang dilaksanakan oleh ummat Islam (Kedaulatan Ummah). Kekuasaan ummat Islam dalam negara Islam dibatasi oleh hukum yang ditetapkan Allah (Kedaulatan Hukum Ilahi). Kedalatan rakyat (bangsa, warga), kedaulatan kepada negara (king, emperor) yang berada dalam batas-batas hukum yang dibenarkan Allah, dapat diterima dalam Islam. Ummat secara keseluruhan bertanggungjawab memikul beban untuk melaksanakan hukum Allah dalam semua urusan kenegaraan.

4. Bentuk pemerintahan
Dalam perjalanan sejarahnya, dalam Islam ditemukan bentuk pemerintahan : a. nubuwah, b. khilafah, c. daulah, d. kesultanan.

Bentuk pemerintahan nubuwah ditemukan pda masa negara Islam pertama di Madinah (622-632M). Pada masa negara Islam pertama di madinah, Rasulullah saw berkedudukan : a. sebagai Nabi dan Rasul, b. sebagai Kepala Negara, c. sebagai Hakim, d. sebagai Panglima.

Bentuk pemerintahan khilafah ditemukan pada masa pemerintahan Khulafaur-Rasyidin (632-661M).

Catatan :
632-634 Masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq
634-644 Masa pemerintahan Umar bin Khaththab
644-656 Masa pemerintahan Usman bin ‘Affan
656-661 Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

sebutan bagi Kepala Negara adalah Amirul mukminin. Pada masa pemerintahan Khulfaur Rasyidin, khalifah berkedudukan sebagai : a. Waritsatul Anbiyaa (Ulama), b. Kepala Negara (Umara), c. Hakim (hakim yang adil).

Bentuk pemerintahan Daulah ditemukan pada masa Daulah Umawiyah, Abbasiyah, Usmaniyah. Bentk pemerintahan Kesultanan ditemukan pada Dinasti-Dinasti otonom di Parsi, Mesir, Afrika Utara, Turki dan India.

Catatan :
661-750 Masa Daulah Umawiyah yang berkedudukan di Damaskus
750-1041 Masa Daulah Umawiyah yang berkedudukan di Cordova
750-1258 Masa Daulah Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad
1300-1928 Masa Daulah Usaniyah yang berkedudukan di Turki.

Pada masa pemerintahan Daulah mawiyah dan Abbasiyah, sebutan bagi Kepala Negara adalah Khalifah. Pada masa pemerintahan Kesultanan, sebutan bagi Kepala Negara adalah Sultan.
5. Bentuk negara
Negara Islam merupakan negara kesatuan ummat (ummatan wahidah) di bawah pemerintah pusat. Pemerintah pusat brdaulat penuh, baik ke dalamaupun ke luar.Seluruh wilayah tunduk terhadap pemerintah pusat. Hubungan dengan luar dilakukan oleh pemerintah pusat.

Pada masa pemerintahan Negara Islam pertama di madinah belum ada perbedaa pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kepala pemerintah pusat (Kepala Negara) disebut Khalifah, Sultan. Kepala pemeritah daerah (wilayah) disebut Amir, Wali (Gubernur).
6. Undang-Undang Dasar
Undang-Undang dasar merupakan undang-undang pokok yang menjadi dasar bagi segala hukum yang berlaku. Setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar. dalam negara Islam pertam di Madinah yang berperan sebagai Undang-Undang Dasar adalah Konstitusi Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah saw untuk dita’ati oleh warga Madinah. Sebenarnya Dasar Undang-Undang dalam slam adalah Quran dan tafsr penjelasannya adalah Sunnah Rasulullah saw.

Konstitusi Madinah merupakan :
a. permakluman kemerdekaan (Proklamasi)
b. pengumuman kelahiran negara (Deklarasi)
c. pengakuan hak warga dan pendudk negara
d. pernyataan hak asasi manusia.

Konstitusi Madinah menetapkan tentang :
a. pembentukan ummat (bangsa negara)
b. hak asasi manusia (Human rights)
c. persatuan seagama (nity of beliver)
d. persatuan segenap warga negara (Unity of all citizn)
e. golongan minoritas (The rights of minorities)
f. Tugas warga negara (Duty of citizen)
g. Perlindungan negara (Defending of city of state)
h. Pimpinan negara
i. Politik perdamaian.

Dalam perkembangan sejarahnya, Konstitusi dalam negara Islam melalui beberapa tahap :

a. Konstitusi Madinah yang ditetakkan oleh Rasulullah saw yang berlaku dari tahun 622M sampai 750M pada sa’at akhir masa pemerintahan Daulah Umawiyah yang berkedudukan di Damaskus.

b. Konstitusi Abbasiyah yang ditetapkan pada masa Khalifah al-Manshur (754-775M) yang berlaku sampai tahun 1258M pada sa’at berakhirnya masa pemerintahan Daulah Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad (1258M).

c. Konstitusi Mameluk yang ditetapkan ketika awal berdirinya Kesultanan Mameluk di Mesir (1252-1517) dan sa’at menjelang berakhirnya masa pemerintahan Daulah Abbasiyah yang berkedudukan di Baghdad (1258M).

d. Kanuni Esasi di Turki (23 Desember 1876M, Qanun Nishami di Mesir (7 Feburari 1882M0, Konstitusi di Iran (1 Agustus 1906M).

e. Konstitusi nasional masing-masing negara Islam yang dimulai dari Kontitusi Republik Turki pada tahun 1924.

Catatan :
Pada masa Sultan Muhammad Syah (1442-1444) aspek hukum Fiqih mulai masuk dalam ndang-Undang Malaka. kanun ini dikutip secara luas, sebagian maupun secara utuh pada berbagai perundang-undangan di Kedah, Pahang, Riau, Pontianak, dan malahan masih dianggap berlaku di Brunei sekarang. Di samping itu ada pula versi Aceh dan versi Patani.

Sultahn hasan Bulqiyah Brunei (1605-1619) menyalin hamper keseluruhan “Qanun Mahkota Alam Aceh” untuk dijadikan Undang-Undang Negeri Brunei.

Mula tahun 1772, yaitu ketika Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjar kembali di Martapura, diberlakukan hukum Islam berdasarkan Mazhab Syafi’I di wilayah Kerajaan Banjar.(Sebelum itu ada pula Ulama Abdus Shomad alJawi alFalimbani di Palembang, Sumatera Selatan yang wafat pada 1203H).

Pemikiran Ilmu Fiqih berpengaruh pada tata pemerintahan pribumi di Jawa dan Madura semasa penjajaaahan Hindia Belanda. Di Indonesia dan Semenanjung, Hukum Islam tidaklah dipandang asing. Hukum Islam pernah diberlakukan sebagai hukum positip di sebagian terbesar wilayah Indonsia dan Semenanjung (Melayu), yaitu di kerajaan-kerajaan Islam. Hanya penguasa penjajahan kolonial Barat Nasrani pernah mengasingkan Hukum Islam dari bumi Indonesia dan Semenanjung. Kini Hukum Islam di Indonesia dan Semenanjung merupakan mutiara yang hlang dari perbendaharaan Islam.

Negara Islam dalam konstitusinya ada yang mencantumkan bahwa ;
1. Agama resmi negara ialah Islam
2. Kepala Negara beragama Islam
3. Hukum Islam sebagai sumber perundang-undangan
4. Kemerdekaan pelaksanaan agama-agama lain diakui.

Pada sa’at BPUUPKI (Badan Peyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membicarakan UUD negara Indonesia Merdeka, oleh salah seorang anggota sidang pernah dimajukan usul agar yang dapat menjadi Presiden dan wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam, dan agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya.
7. Undang-Undang
Undang-undang, peraturan, hukum disusun berdasarkan tuntutan undang-undang dasar. Undang-Undang Dasar dalam negara Islam mengacu pada Quran dan tafsir penjelasannya dalam Sunnah Rasulullah saw.

8. Konvensi/Konsensus
Dalam perkembangannya, dalam pemerintahan negarra timbul konvensi (kebiasaan) yang dihormati dan dpandang mengikat dalam praktek pemerintahan negara, meskipun kebiasaan itu tidak dituangkan dalam undang-undang dasar atau undang-undang.

Umar bin Khaththab pada amasa pemerintahannya telah menyusun dewan-dewan (jawatan-jawatan), mendirikan Baitulmal, menempa mata uang, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan pos, menciptakan tahun Hijrah, mengadakan hisbah (pengawasan terhadap pasar, pengonrolan terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata-tertib dan susila, pengawasan terhadap kebersihan jalan, polisi ekonomi-sosial dan sebagainya). Beliau jua mengadakan perubahan terhadap peraturan-peraturan yang telah ada, bila perlu diperbaiki dan diubah. Semuanya mengacu pada Quran dan Sunnah Raulullah saw, dan bukanpada Trdisi Romawi dan Parsi. Langkah Umar bin Khaththab dalam kasus penetapan hukum telah diikuti di belakang oleh para pemimpin dan fuqaha seperti Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
9. Aparat Negara, Hak dan kewajibannya
Unsur-unsur kekuasaan negara :
a. Kepala Negara.
Kepala Negara adalah pelaksana kekuasaan tertinggi negara yang memperoleh kepercayaan dari rakyat. Pembantu Kepala Negara :
1. Wazir (menteri) memimpin kekuasaan umum (‘ammah) :
a. Wazir tafwidh memperoleh wewenang untuk mengangkat/memberhentikan pegawai, mengadakan perjanjian-perjanjian, menyelenggarakan tugas pemerintahan.
b. Wazir tanfidz memperoleh wewenang untuk melaksankan tugas yang ditetapkan oleh Kepala Negara.
2. Amir memimpin kekuasaan daerah tertentu
3. Pemimpin tentara tertinggi (Panglima Perang)
4. Pegawai tapal batas
5. Qadha (mahkamah dan kejaksaan)
6. Penarik/pemungut pajak
7. Penarik zakat
8. Pegawai Hisbah

Calon Kepala Negara hendaklah mempunyai sifat seperti berikut :
1. Mempunyai pengalaman dan kemampuan berijtihad
2. Mempunyai kecerdasan dalam bidang politik, kemiliteran dan pemerintahahnumum
3. Mempunyai keadilan, ketakwaan dan kewara’an.
4. Mempunyai keberanian, rasa tanggungjawab, sabar dan tabah mempertahankan negara dan memerangi musuh
5. Sehat jasmani, rohani dan sosial.

Kepala aNegara itu memiliki keterbatasan-keterbatasan. Yang lebih berperan adalah sistim pemerintahan yang mengacu pada Kedalatan Ilahiyah menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Pengangkatan Kepala Negara dapat dilakukan dengan cara :

1. Pemilihan dan pengangkatan oleh tokoh-tokoh rakyat dan dengan persetujuan rakayat, seperti pada pemilihan dan pengangkatan khalifah Abu Bkar Siddiq.

2. Penunjukan oleh Kepala Negara sebelumnya dan dengan persetujuan rakyat, seperti pada pemilihan dan pengangkatan Umar bin Khaththab.

3. Pemilihan dan pengangkatan oleh tokoh-tokoh rakyat yang ditunjuk oleh Kepala Negara sebelumnya dan dengan persetujuan rakyat, seperti pada pemilihan dan pengangkatan khalaifah Usman bin Affan.

Sebelum menjalankan tugasya, calon Kepala Negara harus dibai’at (disumpah, dilantik). Kepala Negara memiliki beberapa hak atas rakyat :
1. Agar rakyat ta’at kepada Kepala Negara
2.Agar rakyat mena’ati undang-undang negara
3. Agar rakyat membantu Kepala Negara
4. Agar rakyat membela dan mempertahankan negara.

Kekusaaan Kepala Negara hilang :
1. Apabila tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai Kepala Negara
2. Apabila menyeleweng dari ajaran Islam

Kepala Negara berkewajiban untuk :
a. Memelihara agama
b. Memutus perkara (menyelesaikan perkara rakyat)
c. Melindungi hukum Allah dan memelihara rakyat
e. Menjaga tapal batas negara
f. Memadamkan pemberontakan
g. Memungut zakat
h. Mengatur penggunaan kas negara (Baitulmal)
i. Mengatur aparat negara.
b. Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Lembaga Ulil Amri)
Ahlul Halli wal ‘Aqdi merupakan Lembaga Ulil Amri (lembaga kekuasan rakyat) yang berwewenang mengangkat dan memakzulkan Kepala Negara. Sebutan bagi lembaga Ulil amri adakalanya : Ahlusy-Syura, Ahlul-Ijma’, Ahlul-Ikhtiyar, Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Lembaga Ulil Amri ini terdiri dari tokoh-tokoh rakyat dalam bidang agama, ekonomi, pendidikan, pertahanan, dan lain-lain. Anggota Lembaga Ulil Amri haruslah memiliki sifat-sifat seperti :
a. memiliki keadilan
b. memiliki ilmu pengetahuan yang cukup memadai
c. memiliki kebijaksnaan, pandangan luas, akal yang kuat, kecerdikan, penyelidikan yang tjam, pendirian yang teguh.

Islam tidak menetapkan tatacara dalam pemilihan dan pengangkatan Kepala Negara. masalah ini diserahkan kepada ummat untuk menentukannya, asalkan dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Islam. Demikian pula dalam pemilihan dan pengangkatan anggota Lembaga Ulil Amri diserahkan kepada ummat untuk menentukan, mengatur dan menetapkannya. Pemilihan anggota Lembaga Ulil Amri dapat bersifat formal maupun informal, langsung maupun tak langsung, sesuai dengan kebutuhan, keadaan, masa dan tempat. Lembaga Ulil Amri berkewajiban untuk :

a. Menjelmakan kehendak rakyat
b. Memusyawarahkan kemashlahatan rkyat
c. Menetapkan sesuatu masalah
d. Mengurus kepentingan rakyat.

Lembaga Ulil Amri berkedudukan sebagai pendamping Kepala Negara untuk bersama-sama memikul amanat yang dipikulkan kepada Kepala Negaraa dalam urusan rakyat. Lembaga Ulil Amri memusyawarahkan hal-hal yang penting bag ummat dalam urusan keamanan negara, angkatan peran, perdamaian, hukum yang tidak ada nashnya, atau nashnya yang tidak jelas.

Islam tidak menentukan tatacara tertentu mengenai pelaksanaan musyawarah. Ia lebih banyak bergantung kepada kepentingn, waktu, situasi, tempat, dan diserahkan kepada kebijaksanaan rakyat. Perbedaan pendapat yang tidak dapat dipulangkan kepada Quran dan Hadits dapat diselesaikan dengan salah satu cara berikut : a. Dengan Tahkim, b. Dengan Referendum, d. Dengan Ketetapan Kepala Negara.
c. Qadhi
Qadhi atau hakim adalahaparat pemerintah pelaksanaan hukum. Pengangkatan aparat pemerintah pelaksanan hukum (hakim, qadhi) pertama kali dilakukan oleh Umar bin Khaththabb pada masa pemerintahannya. Hakim bertugas menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum dengan seadil-adilnya berdasarkan hukum Allah. Hakim diangkat oleh Kepala Negara.
Hakim haruslah memiliki syarat-syarat berikut : a. laki-laki dewasa, b. Berakal, c. Isla, d. Adil, e. Memiliki pengetahuan tenang Hukum Syara’, f. Baik pendengaran, penglihatan dan ucapan. Meskipun hakim diangkat oleh Kepala Negara, namun ia berhak mengadili Kepala Negara yang berbuat sahalh.
10. Warganegara dan Penduduk Negara
Hak dnKewajibannya
Warganegara dan penduduk negara terdiri dari ummat Islam dan bukan Islam (masyarakat majemuk). Yang bukan Islam terdiri dari beberapa jenis ; a. Ahludz-Dzimmah, b. Mu’abidin, c. Muhadinun, d. Mu’ammamnun, e. Muharibun.

Rakyat memiliki hak dari negara atas : a. Keselamatan jiwa, b. Keamanan hak milik, c. Keamanan kehormatan, d. Keamanan kehidupan pribadi, e. Penolakan kezhaliman, f. Kebebasan amar makruf nahi munkar, g. Kebebasan berkumpul, h. Kebebasan beragama (beribadah), i. Perlindungan terhadap penindasan keagamaan, j. Hanya memberikan keterangan terbatas tentang perbuatan sendiri, k. Kebebasan dari tuduhan dan tahanan, l. Bantuan pemenuhan kebutuhan hidup, m. Perlakuan yang sama.

Rakyat memikul kewajiban terhadap negara untuk :
a. Menta’ati semua praturan yang berlaku
b. Menta’ati penguasa yang berkuasa
c. Mempertahankan negara dan agama
d. Memikul biaya negara
e. Menjaga persatuan
f. Memelihara ketertiban.

Rakyat berkewajiban menta’ati peraturan, penguasa, terbatas hanya dalam hal-hal yang ma’ruf saja.
11. Daerah (wilayah) negara
Negara Islam berdasarkan pada akidah Islamiyah (konsep dan ideologi Islam). Negara Islam bukan negara territorial (daerah) yang berdasarkan pada suku bangsa, batas geografis. Negara Islam bukan negara kebangsaan yang berdasarkan keturunan atau warna kulit.
12. Pendapatan dan Belanja Negara, Keuangan Negara
Sumber Keuangan/kas negara (Baitulmal) terdiri dari :
a. Zakat
b. Sumbangan-sumbangan (infaq, shadaqah)
c. Pungutan wajib (taudhif)

Keuangan Negara digunakan untuk : Memenuhi keperluan jaminan sosial dan pertahanan negara.

Catatan perincian :
Baitulmal (Kantor Bendahara Negara) adalah Lembaga yang mengurus pemasukan dan pengeluaran neara. Sejarah Islam menunjukkan bahwa pada umumnya pemasukan kekayaan negara berasal dari :
- khumsul ganaim, seperlima dari harta rampasan perang
- zakat, 2setengah% dari harta kekayaan dan perniagaan ummat Islam
- kharaj, pajak hasil bumi
- ‘usyur, cukai barang-barang impor
- jizyah, iuran dari non-muslim sebgai imbalan atas keamanan dan perlindungan yang ditermanya dari negara Islam.

Kekayaan negara itu selanjutnya dpergunakan untuk membiayai para qadhi, amir, angkatan perang, pegawai lainnya dan untuk membiayai aneka ragam pembangunan dalam negara seperti pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, perpustakaan, benteng-benteng, pengairan, danlain-lain.
13. Pertahanan dan Keamanan Negara
Seluruh rakyat berkewajiban membela dan mempertahankan negara dari musuh negara. Seluruh rakyat berkewajibann memikul biaya pertahanan dan keamanan neara. tatacara pertahanan dan pembelaan negara dapat diatur, dsesuai dengan kebutuhan, tuntutan zaman dalam rangka Kedaulatan Ilahiyah. Pertahanan dan pembelaan meliputi :
a. mempertahankan diri, aama, negara
b. memerangi yang merusak perjanjian
c. menghapuskan dan meniadakan fitnah (pemberontakan, pembelotan)
d. menegakkan atuan-aturan agama
e. menghapuskan kemunkaran.

(BKS9712011100)

Muslim lawan Muslim (Persepsi antar Muslim)

Pada hakekatnya Islam memberikan kemerdekaan berpikir, kebebasan berpendapat secara luas, karena kebenaran itu sangat jelas, sangat nyata, sangat gamblang (QS 2:256). Terserah, apakah akan menerima kebenaran ataukah akan menolaknya (QS 18:29).

Dalam bingkai, kerangka kemerdekaan berpikir, kebebasan berpendapat ini, Islam menyeru umatnya agar saling nasehat-menasehati, saling ingat-mengingatkan, saling koreksi –mengoreksi, saling krtik-mengkritik (QS 103:3). Tapi semuaaaanya dalam batas-batas yang benar. Tak sampai pada membicarakan, mempersoalkan tentang Allah. Tak sampai pada amerusak persatuan, menimbulkan persengketaaan, pertengkaran, perselisihan, permusuhan (QS 3:103).

Dalam menyampaikan tausiyah, nasehat, korreksi, kritik pun harus memperhatikan kondisi, keadaan orang yang dinasehati, yang dikoreksi, dikritisi. “Berbicaralah kepada manusia menurut kadar kecerdasan mereka masing-masing”.

Semangat saling nasehat-menasehati, saling ingat-mengingatkan, salingkoreksi-mengkoreksi, saling kritik-mengkritik di kalangan umat Islam melahirkan berbagai pandangan, pendapat, pikiran, paham, aliran. Ada paham skolatisme Ibnu Hazm, Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyah. Ada paham Rasionalisme AlFarabi, Ibu Sina, Ibnu Rusyd. Ada paham Tradisionalisme Muhammad Iqbal, Hasan Albanna, Badiuzza Said Nursi, Sayyid Qutub, Abul A’la alMaududi. Ada paham Modernisme Thaha Husain. Ada paham Nasionalisme Musthafa Kemal.

Sepajang masa selalu terjadi pergolakan antara Liberalis dengan Literalis, antara Kontekstualis dengan Tekstualis, antara Deformalis dengan Formalis, antara Aqliyin dengan Naqliyin, antara Rasionalis dengan Tradisionalis.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid : Orang-orang yang menganggap orang-orang Kristen sebagai “warisan kolonial” yang harus dicurigai dan harus dilawan adalah orang-orang yang tingkat intelektual Islamnya masih “dangkal”. Dengan demikian dalam pandangan Nurcholish Madjid : para pahlawan bangsa penantang kolonial adalah ulama yang tingkat edukasinya rendah, yang kemampuan teknisinya minim. Juga dalam pandangan Nurcholish Madjid : Islam mempunyai sikap yang ambivalen terhadap Kristen. Islam mendukung dan memuji ajaran tentang Kasih dalam Kristen, namun Islam mengikuti pluralisme agama-agama sebagai kelanjutan dari agama-agama sebelumnya yang dianggap sama sebagai agama (SUARA PEMBARUAN, Jakarta, Kemis, 17 September 1992, hal X, kol 1-2).

Nurcholish melihat kegagalan tokoh Islam mendesakkan gagasan Islam sebagai dasar negara dalam siding Konstituante, 1956 lebih disebabkan karena paraaa tokoh-tokoh Islam “kurang memahami antroplogi Indonesia” (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993).

Dalam pandangan dan pemikiran Dr Taufiq Abdullah, peranan umat slam dalam peristiwa-peristiwa intens begitu dominan. tetapi kemudian, umat slam (Kelompok Solidaritas Islam) selalu tersingkir dari percaturan kekuasaan, Dan ironisnya keadaan ini senantiasa berulang. Kegagalan ini banyak disebabkan oleh lemahnya Kelompok Solidaritas Islam terhadap kesadaran sosiologis anthropologis, gagal memahami bahwa bangsa Indonesia bersfat pluralistis (majemuk) (RISALAH, Bandung, No.10, Th.XXII, Januari 1985, hal 18,19, Wawancara dengan Dr Taufik Abdullah oleh Emha Zainal Emteqiu). Apakah memang ummat Islam Indonesia sedemikian dungu sehingga harus memahami bahwa Islam itu bukalah untuk masyarakat majemuk (pluralistis) ?

Umat Islam sering muncul sebagai pihak yang kalah setiap pemilihan umum diadakan (KH Firdaus : “Dosa-dosa yang tak boleh berulang lagi”, hal V, “Sekapur sirih”). Menurut Prof Dr Hamka, karena kesadaran politik di alam menegakkan agama Islam tidak tegas dan jelas, maka kaum Muslimin yang gagah berani itu kebanyakan hanya dipergunakan tenaganya guna membina kekuasaan orang lain. Setelah orang lain berkuasa, kaum Muslimin itu disingkirkan dan dilarang keras atau dihambat-hambat agar jangan sampai menuntut haknya yang suci (“Tafsir AlAzhar”, juz IV, 1983, hal 181). Apakah memang Islam tidak mampu mengatur masyarakat majemuk (pluralistis) ?

Dalam pandangan dan penilaian M Syafe’I Anwar, bahwa dalam siding-sidang BPUPKI dapat dikatakan para tokoh Islam sama sekali “tidak siap” untuk berbicara mengenai konsep kenegaraan menurut Islam. Mereka praktis menerima usulan Bung Karno mengenai Pancasila. Dari jumlah 60 orang anggota BPUPKI, 45 suara (75%) memilih dasar kebangsaan dan 15 suara (25%) memilih dasar Islam (REPUBLIKA, Jakarta, Jum’at, 29 januari 1993, hal 6, kol 4, “Idealisme Islam, Realitas Politik dan Dimensi Kebansaan”).

Menurut Ahmad mansur Suryanegara, meskipun dalam karya Muhammad Yamin pidato-pidato dari kalangan Islam dalam siding BPUPKI 29 Mei – 1 Juni 1945 (Ki Bagus H Hadikusumo, KHM Mansur, Sukiman, Wahid Hasyim, kahar Muzakkir, Agus Salim) tidak ada, sehingga sukar diketahui authentiknya, namun demikian dari pidato-pidato Bung karno dapat dibaca tentang gambaran seluruh pikiran yang pernah dikemkakan oleh semua perwakilan(PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.183, 15 September 1975, hal 32, “Mentuna Politiknya Umat Islam Indonesia”).

Dalam pidatonya, Ir Soekarno antara lain menyebutkan : alangkah benernya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagus hadikusumo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham untuk mendirikan suatu negara Indonesia Merdeka, berpangkal pada persatuan orang dan tempat (“Lahirnja Pantja Sila”, edisi 1947, hal 23,24,25).

Kala BPKI (Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia membicarakan rancangan pertama UUD pada 13 Juli 1945, Wahid Hasyim mengajukan 2 usul. Pertama agar pada pasal 4 ayat 2 rancangan UUD diteaapkan bahwa yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kedua agar pasala 29 berbunyi : Agama negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya masing-masing (ESTAFET, Jakarta, No.12, Th.II, Oktober 1986, hal 25, “Yang Muda Pada masanya”, oleh Dasril).

Pada masa persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, kelompok Islam sudah memilki dan mengajukan konsepsi rancangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, antarra lain disampaikan oleh Moh Saleh Suaidy, ada yang secara lansung kepada ketua dan anggota badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan ada pula yang dikrimkan per pos tercatat ke rumah mereka.

Kira-kira sesudah seminggu dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Moh Saleh Suaidy menyusun suatu Konsepsi Rancangan Undang-Undang Dasar Republik Islam Indonesia. Konsepsi itu terdiri dari 20 halaman kertas folio dengan tik rapat. Konsepsi itu diserahkan kepada Ketua dan sebagian anggota BPUPKI secara lansung ketempat kediaman masing-masing dan ada pula dikirimkan per pos tercatat ke rumah mereka. Abikusno mengatakan akan mempergunkanan konsepsi tersebut jadi bahan pidato dalam sidang BPUPKI (SYI”AR ISLAM, Jakarta, No.4, Th.V, Juni 1976, hal 2-6, “Catatan Sejarah : Konsepsi Konstitusi Islam diajukan ke Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan”).

Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam siding Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Ir Soekarno memanjukan gagasan (ide) nya yang dapat disebut Pancasila, atau Trisila, ataupun Ekasila. Ir Soekarno di waktu mudaanya telah belajar memahami marxisme, nasionalisme dan juga tentang Islam. Dari hasil pemahamannya terhadap ketiga paham tersebut, Ir Soekarno memajukan gagasan (ide) tentang Pancasila, atau Trisila, atau Ekasila.Menyadari aan potensi umat Islam di Indonesia, Ir Soekarno dengan sengaja melengkapi gagasannya pada penutupnya dengan sila Ketuhanan. Agar gagasan (ide) nya tersebut dapat diterima oleh Umat Islam Indonesia, Ir Soekarno juga dengan sengaja membukakan pintu kesempatan berperannya ummat Islam Indonesia, dengan memberikan ulasan tentang sila demokrasi yang memikat ummat Islam Indonesia. Tertarik akan pikiran Ir Soekarno itulah ummat Islam Indonesia yang diwakili oleh tokoh-tokohnya menerima gagasan (ide) Ir Soekarno tersebut dengan terlebih dahulu meluruskan makna Sila Ketuhanan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang mewajibkan umat Islam menjalankan syari’at agamanya. Rumusan Pancasila yang tertuang pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itulah yang diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia untuk dapat dit3erma oleh semuanya.

Sidang BPKI yang kedua membahas kata-kata dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Wongsonegoro menyatakan, anak kalimat itu mungkin menimbulkan fanatisme karena seolah memaksa menjalankan syari’at bagi Umat Islam. Wahid hasyim beranggapan lain, bahwa anak kalimat itu tidak akan mempunyai akibat setajam yang dibayangkan Wongsonegoro (ESTAET, Jakarta, No.`12, oktober 1986, hal 25).

Menurut M Syafe’I anwar, kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak disetujui oleh Prof Dr Soepomo, Prof Hoesein Djayadiningrat, Wongsonegoro dan para pendukung dasar kebangsaan lainnya (REPUBLIKA, 29 januari 1993, hal 6, kol 4).

Menurut M Natsir, seorang utusan dari Indonesia bagian Timur dari ummat Kristen datang menyampaikan pesan melalui komandan tentara Jepang yang waktu itu masih berwenang di Jakarta, kepada Dwi Tunggal Bung karno dan Bung Hatta, agar 7 kata yang tercantum dalam Muqaddimah Undang-Undang dasar Republik yang berbunyi : “dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, harus dicabut. Ini berupa ultimatum, kalau tidak diterima, maka Ummat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia, yang baru diproklamirkan itu (ALMUSLIMUN, Bangil, No.234, hal 20-21, “Ihwal Khas : Tanpa toleransi taakkan ada kerukunan”, oleh M Natsir).

KH Firdaus AN menyebutkan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, datang telepon dari seorang jepang pembantu Laksamana Meda, bahwa sebentar lagi akan datang menemui Bung Hatta seorang opsir angkatan laut Jepang akan menyampaikan pesan seorang tokoh Nasrani dari Indonesia Timur, bahwa tokoh nasrani itu keberatan dengan delapan kata yang jelas tercantum dalam Piagam Jakarta, yaki “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sampai tahun 1984 tokoh itu masih misterius bagi sejarawan maupun politisi. barulah setelah Cornel University di Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku tentang Indonesia, barulah dapat informasi, bahwa tokoh itu bernama Dr Sam ratulangi, seorang politisi Kristen dari Manado, Sulawesi Utara.

KH Firdaus memberkan komentar. Kenapa setelah rumah sudah, tokok masih berbunyi lagi ? Kenapa dengan mudah mencoret suatu piagam yang dihasilkan oleh sidang-sidang yang berkali-kali dengan mengeluarkan tenaga dan air mata ? Kenapa tidak protes ? Dcoret atau tidaknya delapan kata yang amat saral itu, mereka pasti akan mendrikan negara lain dari Republik, yang ternyata kemudian tegaknya Negarai Indonesia Timur (NIT) (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang lagi”, cetakan pertama, hal 46,47,48).

Menurut Dawam Rahardjo, upaya mengembangkan Islam justru lebih memperoleh suasana dinamis di bawah bendera Pancasila (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993, hal 6, kol 9). Apakah memang demikian yang logis-rasionil ? Menurut Usran dari Sulawesi Selatan, guncangan hebat yang melanda beberapa organisasi Islam terjadi pada saat penggodokan kemerdekaan Indonesia yakni dengan hilangnya tujuh perkataan kunci pada pembuka UUD-45 kemudian terkenal dengan sebutan “tujuh perkataan Piagam Jakarta”. Hilangnya tujuh perkataan Piagam Jakarta itu, menurut Dr Ahmad Syafe’I Ma’arif merupakan titik awal dari serangkaian evolusi lebih lanjut dan kekalahan-kekalahan umat Islam selanjutnya. Kenyataan tersebut semakin terbukti dengan semakin lunturnya visi (pandangan) juang dalam menghadapi tantangan dari golongan lain yang tidak menyukai Islam (SUARA ‘AISYIYAH, Yogyakarta, No.08, Th ke-68, Agustus 1993, hal 20, “Api Islam”, oleh Usran).

Abdul Manan Salamun dalam tulisannya “Pemimpin Islam Belum Siap Mengisi Kebangkitan Islam ? “menyatakan keprihatinannya bahwa “suara-suara sumbang justru datang dari kaum intelektual Muslim sendiri. Misalnya sebagaimana dikatakanoleh Dr Amien Rais, bahwa tidak ada negara Islam dalam alQuran dan asSunnah. Dasar pendapat ini pun mendapat dukungan dari bapak Mr Mohammad Roem” (KIBLAT, No.10.Th.XXXI, 5-20 Oktober 1983, hal 23).

Dr H Amien Rais bersama almarhum Mr Mohamamd Roem mengingatkan bahwa aspirasi hukum Islam sepenuhnya dapat ditampung dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD-1945 (“Hubungan Antara Politik dan Dakwah”).

Penerbit “Bulan Bintang”, Jakarta, tahun 1977 menerbitkan buku kecil yang memuat dua karangan. Yang pertama, karya Haji A Salim yang telah dimuat di Majalah Islam Populer “HIKMAH” 1953. Dan yang kedua, pidato Dies natasil Mr Mohammad Roem di Universitas Islam Sumatera Utara, Medan pada tanggal 9 Januari 1969. Buku tersebut berjudul “Ketuhanan YME & Lahirnya pancasila”.

Haji Agus Salim dalam bulanan PEDOMAN MASYARAKAT, tahun 1940 menulis tentang kedudukan Khalifah di dalam Islam. Bagi Haji Agus Salim, berdasarkan data histories : Kekuasaan kekhalifahan itu berdasarkan kekuatan senjata. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tak disepakati oleh seluruh umat Islam. Taak ada hubungan yang tegas antarra agama dengan urusan khalifah (negara). Kekhalifahan itu sudah berakhir.

Ali Abdul Raziq menegaskan bahwa Khalifah itu adalah sekuler, bukan sesuatu yang agamis. Karena itu institusi, aktivitas ekonomi, politik dan hukum Umat Islam harus dibimbing oleh kepentingan duniawi tanpa asanya pertimbangan agama (Ziauddin Sardar : “Dominasi Taqlid”, SUARA MASJID, No.162, Maret 1988, hal 86). Untuk mengesahkan nasionalisme an sekularisme, Ali Abdul Raziq mengusung teori, bahwa Islam itu sendiri mutlak tidak ada hubungannya dengan negarra, bahwa tidak ada sedikitpun kaitan dengan masalah kekhalifaan. Kekhalifahan Islam yang muncul dalam sejarah, menurut Ali Abdul raziq bukanlah bercorak Islam (keagamaan), melainkan merupakan kerajaan Arab (kerajaan duniawi).

Selain Nurcholish Madjis (dengan “Tak da Negara Islam”nya), di antara yang aktif membudayakan Pancasila adalah Munawir Syadzali (“Islam dan Tatanegara”), harun nasution, Dahlan Ranuwihardjo, Syafe’i Ma’arif (MEDIA PEMBINAAN, No.5-9, 1986), Syafe’i Anwar, Dawam Rahardo (REPUBLIKA, 30 Juni 1993), Hasbullah Bakry (PELITA, Oktober 1983), Abdurrahman Wahid (PANJI MASYARAKAT, No.528, hal 73-74), dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai tokoh-tokoh pembaharu.

Dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 18 Agustus 1945 diputuskan mengadkan beberapa perubahan dalam preambul Pembukaan) dan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Pertama, kata “Mukaddimah” diganti kata “Pembukaan”. Kedua, anak kalimat dalam Preambul (Piagam) Jakarta “Berdasarkan kepada Keuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, pasal 19 ayat 1, Negara berdasarkan atas KeTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Negara berdasarkan KeTunan Yang maha Esa” (ESTAFET, No.12, Oktober 1986, hal 25).

Terhadap sikap kaum nasionalis yang menunjuk pada Piagam Jakarta dan pasal undang-undang yang menyatakan persamaan semua warga negara terhadap undang-undang, maka anggota Muzakkir menjadi makin marah sehingga ia mengebrak, memukul meja dan mengusulkan untuk mencoret saja tiap-tiap sebutan yang menunjuk kepada Tuhan atau slam dari Undang-Undang Dasar (“Keterangan-eterangan baru tentang terjadinya Undang-Undang Dasar Indonesia 1945”, oleh Prof JHA Logemann, 1983, hal 21).

M Syafe’i Anwar berpendapat, bahwa ketika Pancasila sudah ditetapkan menjadi satu-satunya asas (Asas Tunggal), gagasan “Negara Islam” telah tertutup (REPUBLIKA, Sabtu, 30 Januari 1993, hal 8, kol 7). Dalam hal ini Pasal 37 UUD-1945 diapayakan semaksimal mungkin hanya untuk dilihat dan dibaca saja, misalnya dengan ide referendum (UU No.5 Th 1985 tentang referendung).

Tujuan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dibentuk di Yogyakarta 7 Nop 1945 adalah ; Terlaksananya ajaran dan hukum islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi. tjuan Nahdatul Ulama yang dibentuk th 1926 adalah mempertahankan syari’at Islam. Kapan orsospol islam kembali pada ikrar 7 Nop 1945 yang sepakat menjadikan Masjumi sebagai satu-satunya parpol Islam ?

Menurut orang yang beriman (mukmin), bagi kebenaran itu hanya terbentang satu arah, bukan jalan yang bercabang-cabang dan mempunyai berbagai macam arah. Mereka akan tetap istiqamah menempuh jalan tersebut apapun risionya (diintimidasi, diteror, dikucilkan, dipasung, dipenjarakan, disiksa, dianiaya, kehancuran, kegagalan, kekalahan) (“Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah”, oleh Khalid Muh Khalid, 1983, hal 699-700)

Dari sejumlah cendekiwan Islam yang namanya disebut Dr Zamachsyari Dhofir dalam sebuah ceramahnya di gedung Stovia Jakarta, belum seorang pun yang membuat tafsir alQuran, atau karya pemikiran Islam yang utuh. karya cendekiawan islam Indonesia masih berkisar pada kesibukan memfotocopy (budaya koor rekaman membeo ?) pikiran Mu’tazilah, Ali Shari’ati, Muthahari, Fazlur Rahman, Sayyid Quthub (Abu Jihan, BLA, PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.601, Tahun XXX, 1-10 Februari 1988, hal 38, Kolom Kecil).

Hasan Albanna, Sayyid Qutb dengan Ikhwanul Muslimunnya serta maulana Abul A’la alMaududi dengan Jama’ati Islamnya menganggap bahwa Islam juga mengatur masalah system ketatanegaraan maupun politik. Sebaliknya Ali Abdul Raziq, Thaha Husin, Bung Karno berpendapat bahwa Islam tidak ada sama sekali kaitannya dengan aturan atau system kenegaraan (REPUBLIKA, 29 januari 1993, hal 6, kol 4).

Setiap kita tak lebih dari pemamah biak (muqallid) dari pandangan, pendapat, pemikiran (ijtihad) orang-orang yang dahulu dari kita. Alasan, argument (hujja) yang kita kemukakan mengacu (taqlid) pada yang dikemukakan orang-orang dahulu itu. Di antara kita adayang mengacu 9taqlid0 pada Hasan albanna, Sayyid Qutub, Abul a’la almaudidi yang menganggap bahwa Islam juga mengatur masalah system ketatanegaraan maupun politik. Dan ada pula di antara kita yang mengacu pada Ali Abdul Raziq, Thaha Husein yang berpendapat bahwa Islam tidak ada sama sekali kaitannya dengan aturan atau system kenegaraan.

M Luthfi asySyaukani berkata : “Beranikah kita menggunakan hasil pemaaaaaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luarkita ? Misalnya brhadapan dengan Sayyid Qutub, alBanna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd alWahhab, Ibnu Tainiyah, alGhazali, Imam Syafi’i, alBkhari, para Sahabat dan bahkan juga nabi Muhammad sendiri” (www.islamlib.com; Budi Handiaanto : “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia”, 2007:211).

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pihak penguasa (Pemegang tampuk kekuasaan) lebih berpihak kepada pandangan bahwa Islam tidak ada kaitannya sama sekali dengan sistem kenegaraan. pihak penguasa cenderng pada kebebasan tanpa batas. Pihak penguasa memandang Islam sebagai ancaman terhadap kebebasannya. Kemenangan kelompok nasionalis lebih banyak disebabkan oleh campur tangan (keterlibatan, ketidaknetralan) wasit (yang berpihak pada kelompok nasionalis).

Dalam rangka mengenang kembali Piagam Jakarta yang dikhianati, seyogianya sepanjang bulan Juni digalakkan upaya pengungkapan kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan perihal Piagam Jakarta, seperti yang pernah dirintis, dilakukan oleh KH Firdaus AN dengan tulisannya “22 Juni yang Keramat” dalam majalah HARMONIS, No.410, Oktober 1989 (“Dosa-Dosa Yang Tak Boleh berulang Lagi”, 1992, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta).

Dalam pandangan KH Firdaus AN “Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh BPUUPKI”. Dengan kata lain telah terjadi penyimpangan, sekaligus pengkhianatan terhadap Islam” (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28 Januari 1999, hal 3).

(BKS0708050915)