Kita tak punya pakar kemakmuran
Kita
tak punya pakar kemakmuran
Kita tak punya pakar kemakmuran Dari
penjajahan Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi, nasig rakyat ama
saja (KORAN PAKOLES, Edisi %3, Minggu ke-I, Maret 2004). Senandung Minang
berlarat-larat berbunyi : "Mendaki gunung Merapi, Menurun ke Tabekpatah,
Singgah di Suruasa. Sudah tiga kali zaman brganti, Sudah bangsa kita yang
memerintah, Nasib rakyat sama saja". "Pikiran politik hanya ingin
merebut negara ini dan menggantikan kedudukan penjajah. Kebijakan politiknya -
tegas WS Rendra - dalam kenyataan sama saja dengan penjajah. Sebagai ilustrasi,
di Indonsia hukum possitif hanya merupakan arisan Hindia Belanda. Soekarno saja
hanya menemukan reformasi yang dilakukan penjajah. Caranya membangun seperti
penanaman modal asing dan lain-lain itu hanya mewariskan gaya politikus
Gubernur Jenderal zaman Belanda" (idem, hal 4, "Intrik politik Tetap
Ada"). Indonesia tak pernah punya pakar, tokoh pemikir yang memikirkan
bagaimana caranya memakmurkan rakyat, baik sebelum, selama, maupun sesudah
penjajahan Belanda. Bahkan Indonesia tak pernah punya pakar, tokoh, pemikir
yang memikirkan bagaimana caranya mengatasi masalah sosial. "Kepustakaan
Djawa" Prof Dr R M Ng Poerbatjaraka, dan "Sedjarah Melaju"
Abdullah tak menyiratkan adanya tokoh-tokoh pemikir, baik di klangan jawa,
maupun di kalangan Melayu. Hitler, Lenin, Ibnu Saud, Musthafa Kemal, John Reed,
Sun Yat Sen, Ernest Renan, Otto Bauer, A Baars, Jean Jaures adalah sebagian
dari acuan, referensi Soekarno. Namun Soekarno tak pernah setara, selvel,
setaraf dengan acuannya, referensinya tersebut. Indonesia tak pernah punya
pakar, tokoh semacam, selevel, sekaliber, setaraf Locke, Montesquieu, Rousseau,
Voltaire. Tjindarbumi dalam karangannya "Mentjari verhouding",
mengemukakan bahwa "Didalam wetenschap (sains) banjak fasal (hal) jang
tidak mudah akan menimbulkan orang bangsa kita seperti Lorentz (didalam ilmu
natuurwetenschap-Fisika), J H van't Hof (scheikundige-Kimia), seorang J
Moleschott (populisator didalam ilmu natuurwetenschappelijk materialisme dan
medicus-Kedokteran) dan seterusnja ("Polemik Kebudayaan", 1948:58).
Indonesia tak pernah punya pakar, tokoh semacam, selevel, sekaliber, setaraf
Saint Simon, Comte, Vico, Spencer, von Steine, Marx, Le Play, Fouille,Durkheim,
Hildebrand, Tolstoi, Le Bon, De Greef, Tonnies, Simmel, von Wiese, Vierkadt,
Oppenheimer, Weber, Spann, Freyer, Sombart, Mannheim yang dikenali sebagai
sosok pemikir masalah masyarakat. Indonesia tak punya pakar, tokoh semacam,
selevel, sekaliber, setaraf Kant, Fichte, Hegel, Eucker, Ratheun, Keyserling,
Bruno, Spinoza, Mach, Nietsche, Kierkegaard, Peierce, Whitehead, Schelling,
James Dewey, Russel, Wittgeinstein. Croce, Bergson, Satre, Santayana, dan
lain-lain yang dikenali dalam "The Age Of Ideology" dan "The Age
of Analysis".
(Barat
setiap abad kaya dengan ilmuwan.
The
17th Century Philosopher [“The Age of Reason”, by Stuart Hamphire, A
Mentor Book, USA] : Galileo, Bacon, Descarte, Hobbes, Pascal, Spinoza,
Leibnitz.
The
18th Century Philosofhers [“The Age of Enligtment”, by Isiah Berlin,
A Mentor Book, USA] : John Lock
[1632-1704], Berkeley, David Hume [1711-1776], Voltaire [1694-1778], Reid,
Condillac.
Aaaaaaathe
19th Century Philosopher [“The Age of Ideology”, by Henry D Aiken, A
Mentor Book, USA, 1957] : Immanuel kant [1724-1804], Johann Gottlieb Fichte
[1762-1814], George Wilhelm Friedrich Hegel [1770-1831], Arthur Schopenhower
[1788-1860], August Comte [1798-1857], John Stuart Mill [1806-1873], Herbert
Spencer [1820-1903], Karl Marx [1818-1883], Friedrick Nietsche [1844-1900],
Soren Kierkegaard [1813-1855), Ernest Mach [1838-1916].
The
20th Century Philosopers [“The Age of Analysis”, by Morton White, A
Mentor Book, USA, 1956] : GE Moore [1873- ], Benedetto Croce [1866-1952],
George Santayaana [1863-1952], Henri Bergson [1859-1941], Alfred Nort Whitehead
[1861-1947], Edmund Husserl [1859-193], Jean-Paul Sartre [1905- ], Charles
Sanders Pierce [1839-1914], William James [1842-1910], John Dewey [1859-1952],
Betrand Russel [1872- ], Rudolf Carnap [1892- ], Ludwig Wittgenstein
[1889-1951].)
Di abad ke-20 Indonsia punya Tjipto,
Ahmad Dahlan, Samanhudi, Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun, Muso, Husni
Thamrin, Supratman, Soekarno, Jamin, Tan Malaka, Sjahrir, Hatta yang dikenali
sebagai pahlawan. Juga punya Soemitro, Widjojo, Emil Salim, Ali Wardhana, Frans
Seda, Sumarlin, Radius, Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, Dorodjatun, Amien Rais,
Akbar Tanjung, Adi Sasono, Wiranto, Susilo, Gus Dur dan lain-lain. Namun
semuanya bukanlah tokoh pemikir yang memikirkan kemakmuran, kesejahteraan
rakyat banyak. Dan juga punya Takdir, Sanusi, Poerbatjaraka, Sutomo,
Tjindarbumi, Adinegoro, Amir, Dewantara yang dikenali sebagai buayawan. Di abad
ke-21 Indonesia punya Ali Masykur Musa ( eks kader, pemuda Golkar di PKB),
Jakob Tobing, Cahyo Kumulo, Arifin Panigoro, Pramono Anum (eks kader Golkar di
PDI-P), Bambang Kesowo (orang kepercayaan Soeharto dan Moerdiono di di
Mensesneg), Tutut, Hartono (orang Cendana di PKPB), Fadel Muhammad (orang
Golkar), Megawati (yang melupakan peristiwa 27 Juli), Hamzah Haz (yang tak
jelas dari mana gelar Doktornya), Faisal Tamin, dan lain - lain ( KORAN
PAKOLES, edisi 53 hal 2 : " Kerjanya Panwaslu Hanya Tukang Catat ",
wawancara dengan Prof Budiyatna). Semuanya bukanlah tokoh pemikir yang
memikirkan kemakmuran, kesejahteraan rakyat banyak. Tetap saja "Dari
penjajahan Belanda, Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi, nasib rakyat sama
saja ", tak berubah.
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home