Kali Terakhir Bertemu saat Mengantar Nasi
Kali
Terakhir Bertemu saat Mengantar Nasi
Oleh : Agung P Iskandar
Yusmanidar terlihat
lunglai saat keluar dari gedung Bareskrim Mabess Polei kwmEIN (12/1). Perempuan
50 tahun itu tidak terlalu antusias saat melayani wawancara. Dia lebih banyak
diam. Sesekali menghela napas panjang. “Ibu masih trauma” kata direktur LBH
Padang Vino Oktavia yang mendampingi Yusmanidar.
Yusmanidar mendatang
Bareskrim untuk membuat laporan tentang kematian misterius dua anaknya. Faisal
Akbar (14) dan Budri M Zen (17). Setelah sejumlah pengacara dari LBH Padang,
dia ditemani si sulung Didi Firdaus. Lelaki 27 tahun tersebut ikut mendampingi
ibunya yang tidak bias berbahasa Indonsia. Karena itu, Vino dan Didi terkadang
harus menjadi penerjemah agar komunikasi lanar.
Yusmanidar memiliki
empat anak. Selain Faisal dan Budri, ada Didi Firdaus dan Rilpai Madaaud, 20.
Setelah kematian dua putranya, Yusmanidar lebih banyak diam. Perempuan single
parent yang bekerja sebagai buruh tani itu belum bias melupakan dua anak
lelakinya tersebut. Apalagi si bungsi Faisal yang masih bocah dan sangat dekat
dengan dirinya.
Yusmanidar menuturkan,
Faisal adalah bocah lugu. Ke mana pun pergi, dia selalu pamit. Dia tak pernah
membantah apa ang dikatakan ibunya. Bahkan sehari-hari dia lebih sering
membantu ibunya memasak di dapur.
Perempuan berjilbab
tersebut msih ingat kebersamaan dirinya dengan Fisal. Dia sering menyuruh
anaknya itu membeli bahan-bahan untuk memasak. Dia juga masih ingat ketika
beberapa kali harus memandikan Faisal. “Saaaya selalu bilang kepada mereka agar
tidak mengambil baaang yang bukan miliknya”, katanya.
Yusmanidar kadang tidak
percaya dua anaknya itu sudah meninggal. Apalagi dengan cara yang tidak masuk
akal seperti yang diungkapkan petugas dari Polsek Sijunjung. Yakni dengan
mengggantung diri di kamar mandi tahanan. “Itu tiddak mungkin”, ujarnya dengan
mata berkaca-kaca.
“Ibu ingin terus
mencari kebenaran tentang bagaimana anaknya bias meninggal. Tapi itu justru
membuat dia semakin sedih. Kadang-kadang saat kami sedang membahas kasus itini,
dia suka menyendiri dan melamun”, tutur Vino.
Faisal mengalami nahas
saat bermain ke Desa Nagari Pamatang Panjang pada 21 Desember lalu (2011). Dia
tidak mengetahui bahwa warga di kampong tersebut sudah dua kali kemalingan
kotak amal. Faisal ditangkap warga dengan tuduhan mencuri kotak amal.
Selanjutnya, ai diserahkan ke wali nagari sebelum kemudian dibawa ke kantor
polisi.
Lain lagi kasus yang
menjerat Budri. Didi menuturkan, Budri awalnya bekerja di sebuah tambang emas
di Solok. Namun, melihat banyaknya kecelakaan di tambang, dia merasa khawatir.
Suatu ketika Budri curhat kepada Yusmanidar. Dia khawatir mengalami celaka
seperti yang sudah banyak terjadi pada teman-temannya. Akhirnya Budri pamit
kepda ibunya untuk ganti pekerjaan.
“Dia ganti pekerjaan jadi
penjual rambutan di Padang. Katanya lebih nyaman dan aman. Dia juga biasa
selalu pulang setiap minggu”, kata Didi.
Siapa sangka, bekerja
sebagai penjual rambutan itu menjadi pekerjaan terakhir Budri. Hanya sebulan
sebelum bekerja, dia ditangkap oleh petugas Polsek Sijunjung pada 26 Desember
2011. Dia dituduh terlibat berbagai kasus curanmor.
Kaka-adik itu pernah
dibesuk oleh Yusmanidar pada 22 Desember. “Waktu ambo menganta nasi, sesudahnya
ditangkok, Faisal mengaku kanai tangan dek polisi (waktu saya mengantar nasi,
setelah dia ditangkap, Faisal mengaku dipukul polisi, Red)”, ucap Yusmanidar.
“Lah pai amak dari siko aden kanai tangan like mak (setelah ibu pergi dari
sini, saya akan dipukul lagi, Red)”.
Itu adalah pertemuan
terakhir Yusmanidar dengan dua anaknya. Pada 28 Desember malam ia dikabari
bahwa dua anknya tewas. Polisi mengklaim bahwa mereka bunuh diri dengan
menggantung diri di kamar mandi.
Keanehan terus
bermunculan setelah meinggalnya Faisal dan Buri. Dalam kantong mayat Budri
ditulis keterangan myat bernama “Gepeng”. Padahal, Gepeng bukan nama Budri.
Selama ini Gepeng dikenal sebagai salah seoaaang pemimpin sindikat pencurian
kendaraan bermotor di kawasan Sijunjung. Karena itu para pengacar yang
mendampingi Yusmanidar menduga bahwa Budri aalah korban salah tangkap.
Keanehan lainnya adalah
kondisi jenazah Faisal dan Budri. Ditemukan banyak lebam di sekujur tubuh.
Juga, leher patah, rahaang patah, gigi rontok, tangan patah, paha kanan patah,
pinggul membiru, dan dua jempol kaki pecah.
Setelah mereka dikubur
pada 30 Desember 2011, sejumlah polisi, rupanya, berniat “membereskan” perkara
tersebut. Caranya memberikan sejumlah uang kepada Yusmanidar.Mereka mendatangi
mamak dan ninik (sebutan untuk pemuka adat di Padang) dan memberikan uang
Rp.1.5 juta agar diserahkan kepada Yusmanidar. Uang itu, kata polii tersebut
merubapakn uang dukacita. “Kalau masih butuh duit lagi, nanti akan ditambah”,
ucapnya.
Yusmanidar
mengungkapkan, uang itu tak cukup untuk menghapus kesedihannya. Uang trsebut
juga tidak bias membuat dua aaknya kembali hidup. Karena itu, dia memutuskan
untuk terusberupaya membongkar kebenaran penyebab kematian anaknya.
Hasil otopsi dari Rumah
Sakit M Djamil, Padang, pada 4 Januari lalu menyatakan bahwa penyebab kematian
Faisal dn Budri bukan bunuh diri. “Mereka meningga karena lemas. Istilahnya
disiksa”. Kata Didi.
Didi menuturkan, semasa
hidup keduanya merupakan orang aik-baik. Mereka tidak pernah memiliki catatan
criminal. Bahkan, mereka rukun dengan siapa pun. Mereka juga bukan orang yang deprei
hingga ingin mengakhiri hidup.
Didi mengungkapkan,
Budri sejk muda sudah ingin mandiri. Dia tidak ingin menyusahkan orang tua.
Karena itu, begitu udah bernjak remaja, dia memutuskan untuk bekerj di tambang
emas di Solok. Ang yang dia dapat memang tidak seberapa. Namun, yang penting,
dia bisa menyimpan untuk dirinya dan memberikan kepada ibunya.
Budri tak pernah mau
berterus terang soal honor yang dia dapatkan dari bekerja taambang. Budri tak
ingin keluarganya ikut bersedih lanyaran harus bekerja keras di pertambangan
untuk honor yang tiak seberapa. “Dia memang cenderung pendiam”, katanya.
Didi mengharapkan
keadilan akan didapatkan keluarganya. Dia ingin kebenaran penyebab kematian dua
adiknya terungkap. Jika memang mereka meninggal karena penyiksaan saat
dinterogasi oleh polisi, dia berharap supaua para pembunuh itu mendapat
ganjaran setimpal. “Kami berharap agar semuanya diusust tuntas. Kalau memang
polisi yang bersalah, semoga mereka dipecat dan dihukum sewajarnya”, tuturnya
(RADAR BEKASI, Sabtu, 14 Januari 2012. Hal 1 dan 7). Di dunia tak ada kebenaran dan keadilan, apalagi di negeri yang tak
punya Pemimpin yang tegas dan berani,
dan dengan aparat yang tak mengenal norma agama, yang tak punya moral.
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home