Akidah seorang Muslim
catatan
serbaneka asrir pasir
Cukilan
Al-Azhar (Akidah seorang Muslim)
Pandangan hidup
yang benar hanya satu, yaitu yang digariskan Allah. Sedangkan panangan hidup
hasil rekayasa manausia bukanlah pandangan hidup yang mutlak benar (Prof Dr
Hamka : “Tafsir Al-Azhar”, juzuk VIII, hal 129).
Pandangan hidup yang benar, menyerahkan
diri kepada Allah, tunduk kepada Allah, mngakui kebesaran Allah. Pandangan
hidup yang mencakup peraturan hidup, peraturan bernegara (idem, juzuk III, hal
130).
Iman adalah kesediaan, kesiapan untuk
mnerima (mendengarkan) dan melaksanakan (mematuhi amanat dari Allah (melakukan
yang disuruh dan mennggalkan yang dilarang Allah). Segala teori yang tidak
berdasar atas kepercayaan kepada Allah adalah teori omong kosong, atau
kedustaaan atau kebohongan yang diatur rapi (idem, juzuk VIII, hala 18).
Suatu masyarakat yang ideal, yang
merupakan cita-cita yang tinggi hanya satu, yaitu bila manusia menyerahkan
kekuasaan tertinggi kepada Allah dan ta’at kepada ketentuan Allah itu (idem,
juzuk VIII, hal 16).
Seorang Muslim yang menyadari agamanya,
atau menyadari alQuran sebagai pegangan hidupnya, menyadari pula Sunnah
Rasulullah, Sejarah Rasulullah dan perjuangan Khulafaur Rasyidin, tidak dapat
tidak dia mesti sampai kepada kesimpulan bahwasanya segala perintah Allah dan
larangannya, segala anjuran Nabi dan cegahannya, tidak akan dapat berlaku,
tidak dijamin bias berjalan, kalau tidak ada Pemerintah Islam. Tegasnya
Pemerintahan Yang disana berlaku syari’at Islam (idem, juzuk VIII, hal 132).
Islam tidak bisa tegak kalau jihad
berhenti, dan Islam akan kendur kalau semangat jihadnya telah pudar (idem,
juzuk Viii, hal 11).
Tugas Risalah, Dakwah berpangkal pada
amar “Qum fa anzir, wa rabbaka fa kabbir” mulai dari seruan “perhambaan diri
kepada Allah semata” (La ilaha illallah : u’budullah ma lakum min ilahin
ghairuh) sampai pada seruan “serahkan diri untuk diatur oleh aturan Allah)
semata “ (la hukman illa hukmallah, innal hukma lillah, wa umirtu an aslim li
rabbil ‘alamin).
Apabila seorang pejuang
Muslim membaca ayat-ayat alQuran dan faham akan artinya, tidak dapat tidak ayat
ini ( An’am 6:115) pasti mempengaruhi sikap jiwanya. Ayat-ayat ini tegas benar
menyatakan bahwa Rasulullah saw harus menyatakan terus-terang bahwa dia tidak
akan menerima hakim selain Allah. tidak menerima peraturan lain selain
peraturan Allah atau sesuatu peraturan yang disesuaikan atau yang sumbernya
diambil daripada hokum Allah. Ini mengenai seluruh segi daripada kehidupan. Dia
seluruhnya berpokok dari Satu, yaitu kepercayaan kepada Adanya Allah. Setelah
mengaku tentang Adanya Allah, lalu percaya aakan peraturanNya, mengerjakan apa
yang disuruh dan menghentikan atau menjauhi apa yang dilarang. Ketaatan kepda
Allah adalah konsekwensi dari pada kepercayaan kepada Allah. Percaya saja tidak
cukup. Percaya hendaklah dibuktikan dengan keta’atan. Sehingga tidak suatu
peraturan pun yang diakui dalam dunia ini, kalau peraturan itu tidak dari
Allah, atau peraturan manusia yang diambil dasarnya dari pada apa yang diridhai
oleh Allah.
Oleh seab itu dengan
sendirinya sudah terang pula kalau sekiranya kaum jahiliyah tiada menyukai
peraturan Allah. Di aman modern ini pejuang-pejuang Islam yang ingin mengikuti
Sunnah Nabi, yang bercita-cita hendak menegakkan peraturan Allah did ala ala
mini kebanyakan dibenci oleh golongan yang tidak mengenal peraturan Allah itu.
Di dalam negeri-negeri Islam sendiri, pejuang Islam dibenci dan menderita
berbagai penderitaan jika dia mengemukakan keyakinan hidup, menjalankan bahwa
dia bercta-cita agar di negerinya peraturan dan undang-undang negeri harus
diambil dari pada peraturan dan undang-undang Allah (idem, juzuk VIII, hal 17).
Selama kita
hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah
sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar Hukum Allah tegak di dalam ala
mini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai sekedar apa yang
dapat kita capai. Karena Tuhan tidaklah memikulkan kepada kita suatu beban yang
melebihi dari tenaga kita. Kalau Hukum Allah belum jalan, janganlah kita
berputusasa. Dan kufur, zhulm dan fasiklah kita kalau kita percaya bahwa ada
hokum lain yang lebih baik dari hokum Allah.
Dan
jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang “Adakah kamu, hai
Ummat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan
menjalankan hokum Syari’at Islam dalam negra yang kamu kuasai itu ?”
Janganlah
berbohong dan mengolok-olok jawaban. katakana terus terang bahwa cita-cita kami
memang itu. Memang hendaknya berjalan Hukum Allah dalam Negara yang kita kuasai
itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Tuhan daaalam
alQuran itu kita mungkiri ?
Dan
kalau ditanyakan orang pula : “Tidakkah dengan demikian kamu hendak memaksakan
agar pemeluk agama lain yang golongan kecil (minoritas) dipaksan menuruti Hukum
Islam ?”
Jawablah tegas :
“Memang akan kami paksa mereka menuruti Hukum Islam. Dan setengah dari Hukum
Islam terhadap golongan pemeluk gama minoritas itu ialah agar supaya mereka
menjalankan Hukum Taurat, Ahli Injil diwajibkan menjalankan Hukum Injil. Dan
kita boleh membuat Undang-Undang menurut teknik pembikinannya, memakai
fasal-fasal dan ayat-ayat suci, tapi dasarnya wajiblah Hukum Allah dan
kitab-kitab suci, bukan hokum buatan manusia atau diktator” (Simak juga Abdul Qadir Audah : “Islam dan
Perundang-Undangan” [ Kritik Terhadap Undang-Undang Ciptaan manusia”]).
Katakan it uterus
terang, dan jangan takut. Dan insaflah bahwasanya rqasa takut orang menerima
Hukum Islam ialah karena propaaaaaganda terus-menerus dari kaum penjajah selama
berpuluh berates tahun, sehingga orang-orang yang mengaku beragama Islam
sendiripun kemasukan rasa takut itu karena dipompakan oleh penjajahan.
Lihatlah bagaimana
ceakanya perikemanusiaan di zaman sewenang-wenang hokum buatan manusia,
seumpama di Jerman di zaman Nzi, di Italia di zaman Fasis, dan di seluruh
Negara yang dipengaruhi oleh Komunis.
Apabila kita
membicarakan Hukum Allah, hendaklah kita menilik terlebih dahulu kepada
Filsafat Hukumnya dan darimana sumber Hukum. Dalam Islam sudah nyata bahwa
sumbr Hukum ialah Allah dan Rasul, atau alQuran dan asSunnah (idem, juzuk VI,
hal 263).
Haruslah
kita di zaman modern mencamkan benar-benar dalam hati kita inti sari ayat ini
(Nisak 4:104). Menegakan agama yang benar. Tauhid yang khalis adalah tujuan
hidup kita. Di zaman modern pun orang telah mengakui betapa pentingnya
berperang menegakkan ideology, yaitu cita-cita yang diperjuaaangkan, haruslah
jelas. Perang-perang sebagai di zaman feudal dahulu, yaitu memusnahkan harta
benda dan jiwa raga untuk kepentingan seorang raja atau pangeran tidak ada
lagi. Perang sekarang ialah perang ideology, dan ideology menegakkan
kepercayaan kepada Tuhan penguasa seluruh alam (idem, juzuk V, hal 261). (Simak juga Etika Perang Fi Sabilillah dalam
Prof A Hasymy : “Nabi Muhammad saw sebagai Panglima Perang”, Mutiara Sumber
Widya, Jakarta, 2001).
Sebab
itu maka memusuhi Rasul, menantang ajarannya, mempercayai separuh-separuh,
mengatakan bahwa peraturan Rasul itu tidak cocok lagi dengan zaman, atau
mengatakan bahwa Islam hanya untuk orang Badwi di gurun pasir, yang
kadang-kadang keluar dari mulut orang yang mengakui dirinya Islam, tidak ada
jalan lain yang akan mereka tempuh atau yang telah mereka tempuh, melainkan
jalan orang yang tidk beriman. tuhan pun akan mengencangkan mereka lebih cepat
kepada apa ang mereka tuju. Dan oleh sebab jalan orang yang tidak beriman itu
adalah berakhir (klimaks) pada kehancuran, maka kehancuran itulah yang akan
mereka temui, atau mereka terus jadi kafir, atau gagal usaha mereka karena jiwa
yang pecah berderai. Dan di akhirat jahaaanamlah tempat mereka.
Oleh sebab itu, kalau
kita telah mengakui diri seorang Muslim, selidikilah petunjuk Rasul itu dengan
saksama, jangan lekas menentang dan memusuhi. Karena penentangan dan permusuhan
kebanyakan timbul karena hasutan dan ajakan orang lain, atau menerima ajaran
lain yang bukan ajaran Rasul (idem, juzuk V, hal 217).
Demikian
juga dalam pendirian Negara yang modern dan berdasarkan demokrasi. Hendaklah di
negeri-negeri Islam, agar ummatnya menjalankan peraturan-peraturan Islam.
jangan sampai peraturan-peraturan dan hokum-hukum yang berasal dari Islam
ditinggalkan, lalu diganti dengan hokum Barat yang bersumber dan
latar-belakangnya kalau tidak Kristen, tentu hokum Romawi Kuno. Dan di dalam
Negara yang penduduknya sebagian besar ummat Islam, dan ada pula pemeluk agama
yang lain, agar terhadap golongan yang besaar Muslim dibiarkan berlaku hokum
syari’at Islam.
Pendeknya kita wajib
berikhtiar agar Islam dalam keseluruhannya berlaku pada masing-masing pribadi
kita, lalu kepada masyarakat kita, lalu kepada Negara kita. Selama hayat di
kandaung badan, kita harus berjuang terus agar Islam dalam keseluruhannya dapat
berdiri dalam kehidupan kita. Dan jangan sampai kita mengakui bahwa ada satu
peraturan lain yang lebih baik dari pada peraturan Islam (idem, juzuk II, hal
174).
Tahu
akan
kebesaran tetapi tidak mau mengakuinya, ialah corak kafir, yang terbanyak di
zaan Nabi saw. Adapun kafir di zaman kita ini, yang hamper sama dengan itu
ialah orang-orang yang yang mengatakan bahwa Islam itu hanya agama untuk orang
Arab, bukan untuk bangsa lain. Atau berkata bahwa agama itu hanya untuk ibadat
kepada Allah saja, sedang peraturan-peraturan Islam yang mengenai masyarakat
tidaklah sesuai lagi dengan zaman, wajib dirobek sama sekali. Tetapi kalau
mereka masih tetap mengakui kebaikan peraturan-peraturan itu, dan kita pun
jangan berhenti berusaha buat menjalankannya, belum dapat dipastikan
kekufurannya. Misalnya juga tentang larangan riba dalam alQuran; AlQuran sudah
melarang riba dengan nyata-nyata, padahal di zaman sekarang seluruh dunia
menjalankan ekonomi dengan memakai Bank, yang tidak dapat dipisahkan dengan
riba. Maka kalau ada yang berkata, bahwa praturan alQuran tentang riba itu
sudah kolot, ini sudah terancam oleh kekafiran. Tetapi kalau dia berkata :
“Pengaruh Yahudi terlalu besar kepada ekonomi dunia ini, sehingga kita ummat
Islam terpaksa memakai system ekonomi dengan riba itu, dan belum dapat berbuat
lain”, belum dapat orang itu dituduh kafir.
Ada lagi semacam kafir,
yaitu tiak mau tahu apa kebenaran itu, dan tidak peduli, tidak cinta. Tiap-tiap
diseur kepada kebenaran, tiap itu pula dia menjauh. Terdengar seruan ditutupnya
telinganya, Nampak kebenaran, dipidingkannya matanya. Sebab matanya sudah tidak
dibiasakannya menentang cahaya kebenaran itu, maka silaulah dia bila bertemu
dengan dia (idem, juzuk I, hal 167) (Simak
juga Abul A’la Maududi : “Kemerosotan ummat Islam dan Upaya Pembangkitannya”
[Waqi’ul Muslimin Sabil anNuhudh Bihim], Pustaka, bandung, 1984:3).
Orang
yang membuat hubungan baik dengan musuh yang nyata jelas memusuhi Islam,
memerangi dan bahkan sampai mengusir atau membantu pengusiran, jelaslah dia itu
orang yang aniaya. Sebab dia telah merusak strategi, atau siasat perlawanan
Islam trhadap musuh. Tandanya orang yang membuat hubungan ini tidak teguh
imannya, tidak ada gairahnya dalam mempertahankan agama. Sama juga halnya
dengan orang yang mengakui dirinya seorang Islam, tetapi dia berkata : “Bagi
saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya”. Orang
yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. kalau
dia mengatakan dirinya Islam maka perkataannya itu tidak sesuai dengan
kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya
Islam (idem, juzuk XXVIII, hal 138)
Dari
segi menegakkan pemerintahan demikian pula. Olah karena pengaruh
penjajaaaajahan berates-ratus tahun, dan oleh karena bangsa-bangsa yang
menjajah telah menyingkirkan dengan secara teratur segala hokum yang bersumber
Tuhan ini yang dahulu berlaku dalam negeri-negeri Islam. Maka tumbuhlah
golongan-golongan orang yang mengakui beragama Islam dan beribdat, tetapi tidak
yakin lagi akan syari’at Islam. Merekalah yang keras menentang tiap gagasan
hendak meletakkan dasar hokum syari’at Islam itu di dalam negeri yang
penduduknya terbanyak orang Islam. Bahkan ada yang berkata : “Saya ini orang
Islam, tetapi saya tidak mau alau dalam negeri ini diperlakukan syari’at Islam.
Bahkan saya tidak mau, walaupun hokum syari’at Islam itu hanya akan dijalankan
untuk rakyat yang beragama Islam saja” (idem, juzuk V, hal 144).
Tetapi
tidaklah
pernah kebenaran yang kalah berhadapan dengan kedustaan. Kekerasan
kadang-kadang dapat tersembul keluar seakan-akan menang. Tetapi dalam peredaran
zaman kemudian akan ternyata bahwa kecurangan, atau yang salah dipaksakan
mengatakan benar itu akan sirna laksana buih ditiup angin. Itulah sebabnya maka
setiap perjuangan wajib bertawakkal kepada Allah. Artinya jangan disangka bahwa
urusan ini akan selesai di tangan kita. Walaupun kita misalnya mti, tewas, jadi
korban dari kebenarn yang kita perjuangkan, bukanlah berarti bahwa kebenaran
itu kalah. dia akan tetap ditetakkan juga oleh Allah, walau sepeninggal kita.
Diri kita masing-masing tiak artinya dihadapan kebenaran itu (idem, juzuk XX,
hal 41).
Di
dalam pangkal ayat ini dijelaskan bahwasanya segala pemimpin (Qashash 28:41)
yang berjalan di luar kebenaran, menyombong dan aniaya itu adalah pemimpin
membawa mmat atau rakyat yang dipimpinnya ke neraka, bukan ke surge. Untuk
menjadi perbandingan bagi ummat manusia sampai hari kiamat, bila saja, dimana
saja, apabila ada pemimpin Negara yang menganggap dirinya Tuhan,
peraturannyalah yang benar, lalu menolak kebenaran yang diturunkan Ilahi dengan
perantraaan Nabi-Nabinya, semua pemimpin semacam itu teranglah akan membawa
manusia ke neraka. Karena dia pemimpin, dialah yang di muka sekali untuk
diiringkan oleh manusia menuju neraka. Negara semacam itu bukanlah Negara
Hukum, melainkan Negara Hukuman. Bukan Negara yang dijaga keamanannya oleh
polisi, melainkan Negara Kepolisian. Kediktatoran pemimpin Negara menyebabkan
kehilangan kemerdekaan tiap-tiap orang yang mengharapkan perlindungan dalam negara
itu (idem, juzuk XX, hal 117).
Ketahuilah,
bahwasanya tidak ada suatu kerusakan yang sangat membahayakan bagi agama, dan
yang menyebabkan isi Kitab tersia-sia, sampai orang mau mencampakkannya ke
belakang punggungnya, mau memperjualbelikannya dengan harga sedikit, tidak ada
suatu bahaya pun yang mengancam agama lebih dari pada menjadikan kehidupan
ulama bergantung kepada kasian raja-raja atau penguasa-penguasa neara. Oleh
sebab itu wajiblah atas ulama-ulama agama mempertahankan kebebasan sempurna,
bebas dari pengaruh-pengaruh itu, terutama penguasa-penguasa diktator. Tidak
masuk di akal saya seorang penguasa tirani akan mau saja memberikan belenggu
emas di leher ulama-ulama itu, melainkan supaya mereka dapat dituntutn
menurutkan kehendak penguasa itu, untuk menipu orang awam dengan nama agama,
supaya mempermudah perbudakan si penguasa kepada rakyat. Kalau rakyat umum itu
ada kesadaran, tidaklah mereka akan mempercayai kata atau fatwa ulama-ulama
resmi yang telah diikat lehernya dengan rantai emas itu (Idem, juzuk IV, hal
208-209, dari “Tafsir Al-Manar” Sayid Rasyid Ridha).
Memang
sangatlah nisbi (relative) wajah hidup yang dihadapi di dunia ini. Itulah
agaknya sebabnya maka sufyan asTsauri, ulama Tabi’in yang terkenal, lebih suka
mengembara jauh-jauh, sangat menjauhi hubungan dengan istana, walaupun
berkali-kali disuruh cari oleh Khalifah Abu Ja’far al-manshur. Dia lebih suka
hidup kelihatan pada zahirnya sengsara, tetapi bebas dari pada menjadi ulama
istana, yang kemerdekaannya tidak ada lagi (idem, juzuk I, hal 170).
Disini
dapat
dilihat dengan jelas bagaimana besar perbedaan ajaran Islam dengan Sosialisme.
bagi Islam, untuk memperbaki masyarakat dan meratakan keadilan social,
hendaklah diperbaiki terlebih dahulu dasar sendi pertama social (masyarakat)
itu. Dasar sendi pertama ialah jiwa seseorang. Ditanamkanlah terlebih dahulu di
jiwa orang seorang rasa iman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu iman itu
mengakibatkan rasa kasih-sayang dan dermawan. Kesadaran pribadi setiap orang
dalam hubungannya dengan Allah, manusia, alam sekitar dan kedudukan dirinya di
tengah semuanya itu, di sanalah sumber Keadilan Sosial. Sebab itu pernah
tersebut di dalam suatu Hadits, bahwasanyajika ajaran ini telah diamalkan, akan
dating masa tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat, karena semua orang
wajib berzakat. Dan ini pernah tercapai dalam masyarakat Islam, sebagai
disaksikan dalam sejarh Khalifah Umar bin Abdul Azuz (idem, juzuk II, hal 87) (Simak Jihad Melawan Mafia/Korupsi dalam Sayyid
Quthb : “Keadilan Sosial Dalam Islam” [Al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fil-Islam],
Pustaka, Bandung, 1994).
Darwis
Taib mempelajari Sosialisme dengan mendalam. Menurut beliau ayat-ayat dari
surat al-balad ini adalah dasar yang teguh dari ajaran “Keadilan Sosial” yang
bersumber dari wahyu. Orang dididik memperdalam iman dan sanggup menempuh jalan
yang mendaki yang sukar (‘Aqabah), mengeluarkan harta-benda dan tenaga buat :
- Memberantas segala macam perbudakan, pemerasan manusia atas sesame manusia.
- Memberi makan pada saat orang sangat memerlukan makan, baik terhadap anak-anak yatim karena ayah-ayahnya yang tewas skoran perjuangan, atau orang-orang miskin dan melarat yang tidak punya apa-apa.
- Semuanya itu terlebih dahulu mesti timbul dari iman dan keyakinan hidup sebagai Muslim, yang masyarakatnya dibentuk oleh jama’ahnya sendiri. Yaitu jama’ah yang hidup gotong royong, hidup pesan-memesan tentang kesabaran menderita dan pesan-memesan supaya selalu hidup dalam berkasih-sayang, bantu-membantu, tolong-menolong. Itulah yang dinamai hidup dalam masyarakat Marhamah (idem, juzuk XXX, hal 148) (Simak juga Drs Mohammad Soebari MA : “Makalah : Kesenjangan Dengan Sembilan Basis Konsepsi Islam”, Biro Dakwah Dakta, Bekasi, 1998, hal 6-7, “A Proses Of Change”).(Kapitalisme menganjurkan agar setiap investasi yang ditanamkan menghasilkan profit [keuntugan]. Kaum pseudo-intelektual dan kaum borjuis tidak mungkin bersikap tulus bermurah hati kepada orang wam, bodoh kurang pendidikan, miskin, terkucil dan tertindas, sebab mereka merasa bahwa bila mereka membantu yang melarat itu berarti mendatangkan kerugian bagi mereka. KIBLAT, 22/XXXI).
Di
zaman
sekarang kita terpaksa menerima susunan ekonomi yang bersandarkan Bank. Sebb
orang Yahudi menternakkan uang dengan Bank untuk meminjami orang luar dari
Yahudi. Orang Kristen pun menegakkan Bank. Bukanlah berarti ahwa kita telah
menyerahkan kepada ssusunan itu. kita masih menuju lagi kepada tujuan yang
lebih jauh, yaitu kemerdekan ekonomi kita secara Islam, dengan dasar hidup
beriman kepada Allah. Perjuangan kita belum selsai sehingga begini saja. Kita
wajib meyakini konsepsi ekonomi Islam, dan tetap bercita-cita mempraktekkannya
d dinua ini (idem juzuk III, hal 77-78).
Di negeri-negeri yang berjalan
peraturan Islam, dan seratus persen berdasar Islam, tentu sejalan al-Imam
(Kepala Negara), yang berkuasa tertinggi, memungut dan menuruh bagikan zakat.
Adapun di Negara-negara Islam yang dasar hukumnya belum seratus persen Islam,
tentulah mengeluaran zakat menjadi kewajiban bagi tiap-tiap anggota ummat,
sebagaimana wajibnya menerjakan sembahyang, puasa dan haji. Apabila kesdaran
beragama telah mendalam, niscaya dengan tenaga sendiri Masyarakat Islam itu,
akan mengatur pemungutan dan pembagian akatnya (idem, juzuk X, hal 274).
Kalau pandangan hidup Islam masih
terpengaruh dalam jiwa Muslim seluruh dnia Islam ini, tidaklah terlantgar
seorang penembara Muslim yang berjalan sejak dari Mindanao (Philipina) melalui
Indonesia, Malaysia, Hidustan, Pakistan, Afghanistan, Iran, Arabia sampai ke
Marokko, sebab harta mereka untuk perjlaanan ada alam kas tiaptiap negeri itu
(idem, juzuk X, hal 7).
Dalam berpedoman kepada ayat QS 4:36,
maka tidaklah akan terlantar – insya Allah- seorang musafir (ibnu sabl)
menuntut ilmu, menamah pengaaaaaman, memperbanyak shabat, jika mereka memulai
perjalanannya misalnya dari Irian Barat, melalui pulau-pulau Floris, Sumbawa,
Lombok, Bali, Madura, Jawa, Sumatera sampai Malaysia, sampai ke Siam, dan terus
berlarat-larat melalui India, Pakistan, Basrah, Makkah dan Madiah, sampai ke
Mesir, Tunisia, Maroko dan Aljazair. Dengan hanya memakai satu bekal, yaitu
“Assalamu’alaikum”, belanja dalam perjalanan, makanan dan minuman, pakaan ala
kadarnya, nisaya akan diterimanya pada tiap-tiap negeri yang disinggahinya,
asala ditunjukkannya bahwa dia orang Islam. Di dalam tiap saku baju yang Mukmin
ada sedia seua perbekalan untuk melanjutkan perjalanannya (idem, juzuk V, hal
66).
Dan bertali denan ini juga, tidak ada
salahnya jika selama di Mina itu ahli-ahli cerdik-pandai dunia Islam
bermusyawarah, memperkatakan soal-soal nasib negeri masing-masing, soal
ekonomi, politik dan kemasyaakatan dan soal dakwah Islam. Semuanya ini termasuh
di dalam fadhilah, anugrah Tuhan, atau rezki yang dikaruniakan Tuhan. Maka amat
luaslah maksud yang terkadnung did lam paangkal ayat ini (Idem, juzuk II, hal
156) (Hanya saja masih tetap tinggal
sebagai harapan [Das Sollen], belum sampai mengarah kepada kenyataan [Das
Sein]).
Tatkala pada
suatu ketika nanti, kita semua akan menyesal dan menderita batin melihat Negara
kita yang begitu luas dam kaya raya, diadikan oleh orang asing tempat
pertarungan dan perebutan pengaruh dan kekuasaan ? Pernahkah kita fikirkan
secara mendalam, apakah tidak ada kemungkinan saran-saran dan dorongan-dorongan
orang dari luar negeri (terutama Eropa) terhadap Indonesia, supaya melakukan
Keluarga Brenana itu mempunyai latar belakang politik ? Kaena mereka sendiri
telah mengeetahui sejak puluhan tahun yang bisanya mampu melaksaakan pembatasan
kelelhiran itu adalah golongan menengah an atas, sedangkan golongan rakyat
banyka tidak mampu (idem, juzuk VIII, hal 121 dari tulisan Dr Zakiah Daradjat) (Yang jelas kini tikus-tikus korupsi dari
banga sendiri yang menggerogoti kekayaan negara ini secara konstitusional
bekerjasama dengan pihak asing).
Sekali-kali
janganlah diakui ada satu peraturan lain
yang lebih baik dari peraturan Islam. Belumlah “musuh Islam keseluruhannya”,
kalau masih belum menurut peraturan alQuran. Cukup sudah hanya mengakui Islam
satu-satunya aturan hokum (idem, juzuk II, hal 173).
Seorang Muslim
tidak menerima peraturan lain selain peraturan Allah atau sesuatu peraturan
yang sumberny diambil dari hokum Allh. Seorang Muslim bercita-cita gar
peraturan dan unang-undang harus diambil dari peraturan dan unang-undang Allah
(Idem, juzuk VIII, hal 17).
Seorang
Muslim yang ingin mengikuti Sunnah Nabi, bercita-cita hendak menegakkan
peraturan Allah di dalam ala mini meskipun dibnci oleh golongan yang tidak
mengenal peraturan Allah (Idem, juzuk Viii, hal 17) (Simak juga Abul A’la AlMaududi : “Metoda Revolusi Islam”Manhajul
Inqilabl sam, Ar-Risaah, Yogyakarta, 1983). [
(written by sicumpaz@gmail.co
at BKS 1110071130)
Labels: catatan serbaneka
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home