Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Monday, November 10, 2008

Menyoal pemberlakuan syari’at Islam

Sungguh sangat simpatik pernyataan Habib Husein al-Habsyi bersama kawan-kawan yang antara lain menuntut Sidang Umum MPR mendatang mempersiapkan Referendum Nasional dengan opsi pemberlakuan syari’at Islam dalam hukum nasional (SABILI, No.15, 5 Januari 2000, hlm 55).

Empat puluh sembilan tahun yang lalu (tahun 1955) wakil-wakil parpol Islam dalam Sidang Konstituante menuntut agar Piagam Jakarta sebagai ikrar kesepakatan bersama pada 22 Juni 1945 yang pernah dikhianati pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan "dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", dikembalikan seutuhnya sebagai Pembuka UUD. (Khannas sebaliknya menuding bahwa yang berupaya mengembalikan Piagam Jakarta itu adalah orang-orang yang mengingkari sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kebhinekaannya).

Namun secara inkonstitusional, tuntutan pengembalian Piagam Jakarta Tersebut disambut dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante hasil pilihan rakyat dan memberlakukan kembali UUD-45.

Berdasarkan perspektif historis dan tekstual, UUD-45 tetap saja bersifat sementara (Ayat 2 Aturan Tambahan). Bahkan semangat dan jiwa UUD-45 bersifat mendua, antara demokratis dan anti-demokratis (Muhammad Yamin : "Proklamasi dan Konstitusi RI", 1952:90).

Sesuai kondisi riil masa kini, maka referendum dengan opsi pemberlakuan syari’at dan hudud Islam seyogianya bersifat lokal, daerah per daerah, namun penyelenggaraannya bisa saja serentak di seluruh nusantara oleh pemerintah pusat.

Semoga bangsa ini tidak lagi mengkhianati ikrar yang telah disepakati bersama, dan semoga tidak mendapat kutukan dan laknat dari yang memberi kemerdekaan.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home