Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Tuesday, October 21, 2008

Ajaran Jahili Sekuler
“Temukan Kembali Api Islam”. Itulah judul pidato “Amanat Presiden Sukarno pada upacara pemberian gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin jurusan Da’wah, gelar Guru Besar Kehormatan dan gelar Pendidik Agung, oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Istana Negara, Jakarta pada tanggal 2 Desember 1964”. Amanat mantan Presiden Sukarno itu hanya menstressing bahwa “segala yang kumelip di dunia ini, termasuk Negara haruslan menyembah kepada Tuhan”. (Penerbitan Khusus DEPPEN RI, No.354). Namun Sukarno sepanjang hidupnya tak pernah berupaya membawa Negara Republik Indonesia ini tunduk patuh mengikuti tuntunan Allah, Tuhan alam semesta. Padahal dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, dalam siding BPUUPKI, Sukarno mengajak agar tokoh-tokoh umat Islam bekerja keras supaya hukum-hukum yang dihasilkan Badan Perwakilan Rakyat adalah hukum-hukum Islam, supaya api Islam hidup menyala. (“Pidato Lahirnya Pantja Sila”). Namun sayang Sukarno tak pernah berpihak pada Islam.
Ameer Ali (1849-1928, India) menulis “Api Islam” (The Spirit of Islam). Namun sayang, menurut Maryam Jameela (dh Margaret Marcus), Ameer Ali dalam “Api Islam” nya hanyalah menggunakan Islam untuk membela, mempertahankan ide-ide Barat. (“Islam & Modernisme”, 1982:94).
Di mana-mana, api Islam redup. Nyalanya hanya kecil. Islam hancur berantakan. Yang tersisa hanyalah namanya saja lagi. Tak lagi bergelora, berkobar-kobar. Hal ini disebabkan oleh karena umat Islam itu sendiri tak peduli, tak hirau lagi akan Islam. Qur:an sudah meluncur lenyap, tercabut dari hati. Yang tersisa hanyalah naskahnya saja lagi. Umat Islam, hatinya sudah kosong dari iman. Hanya tersisa semangat memperindah, mempercantik bangunan fisik masjid. Akibatnya pantas ditimpa malapetaka, karena telah mengabaikan Islam, karena lebih mencintai kekayaan duniawi. (Simaklah hadits Hudzaifah bin al-Yaman tentang “Sebab-sebab, tanda-tanda kehancuran bangsa, umat”).
Seperti disinyalir oleh Rasulullah, umat Islam kini, di mana-mana bagaikan mkanan yang diperbutkan oleh oran-orang lapar. Atau bagaikan buih yang terapung-apung di atas air. Meskipun kuantitasnya mayoritas, namun tak berbobot, enteng, dan dipandang remeh oleh orang. Tak ada rasa segan atau gentar di hati orang terhadap umat Islam. Hal ini diseabkan oleh karena umat Islam lebih mencintai dunia dari pada akhirat, benci dengan ajaran jihad, ogah membela dan mempertahankan Islam.
Jahili Sekuler mengajari agar bersikap, berfikir objektif-realistis. Nasehat ini sangat layak bagi yang berhubungan dengan masalah mikro. Namun terhadap masalah makro, barangkali perlu dicermati kembali. Apalagi terhadap yang berhubungan dengan gagasan. Yang berhubungan dengan gagasan biasanya bersifat subjektif-idealis. Karenanya tak peduli dengan sikon apakah objektif-realistis. Tak peduli apakah sesuai ataukah melawan arus.
“Dan mereka (yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya) berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia aja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa …”. (QS 45:24, simak juga “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:117-121).
Jahili Sekuler juga mengajari bahwa tolok ukur kebenaran itu adalah penilaian publik, pendapat umum, tradisi, adat kebiasaan turun temurun, sesuai arus. Tetapi Islam mengajarkan bahwa acuan tolok ukur kebenaran itu adalah ajaran Qur:an dan penjelasannya dalam Hadits yang diterangkan, ditafsirkan oleh ulama yang saleh, yang tawaduk.
“Apabila dikatakan kepada mereka : Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah den mengikuti Rasul. Mereka menjawab : Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannny”. (QS 5:104), simak juga QS 2:170, 31:21, simak pula Muhmmad bin Abdul Wahhab : “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:33-36)
Jahili sekuler juga mengajari bahwa professionalisme itu tak terkait dengan moralitas. Begitu pula kebebasan itu tak terkait dengan moralitas, norma-norma moral, etika. Sebaliknya Islam mengajarkan bahwa professionalisme, kebebasan itu terkaaait dengan moralitas, norma-norma moral, etika, hanya dalam dalam hal-hal yang makruf, yang sopan, yang beradab, yang bermoral, yang beretika.
Untuk menghadapi sikon seperti itu, Abubakar Siddiq ra memberikan petunjuk agar : Menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan jama’ah. Banyak-banyak menemukan petunjuk dari Qur:an. Memelihara persatuan umat. (“Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, hdits no.1211, “Fiqhud Da’wah” M Natsir, 1981:88).
(BKS0805130620)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home