Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Tuesday, October 07, 2008

Etika Budaya Berbangsa Bernegara

Satu-satunya jalan untuk mencegaha negeri ini menjadi puing-puing sejarah adalah mengembalikan keyakinan ummat bahwa kekuasaan hanayalah milik Allah semata. Dialah pemilik mutlak segenap kerajaan di langit dan bumi. Dia mempunyai otoritas penuh untuk mendistribusikan dan mendelegasikan kekuasaanNya kepada siapa saja yang dikehendakiNya, seperti tercantum dalam firmanNya pada QS Ali Imran 3:26 (Misbah/Hepi : "Kekuasaan Tak Boleh Dilanggengkan", SABILI, No.22, Th.VIII, 25 April 2001, hal 91, Tarqiyah).

Gus Dur sama sekali tak pernah berupaya memprovokasi anggota MPR untuk mencalonkan, memilih dirinya sebagai Presiden RI periode 1999-2004. Mengikuti pola alur pemikiran seperti tersebut diatas, seharusnya dinyatakan bahwa KH Abdurrahman Wahid dipercayai sebagai Presiden RI 1999-2004 semata-mata adalah karunia anugerah Allah swt yang memberikan kekuasaan kepada yang dikehendakiNya. Karenanya tak ada alasan untuk menggugat posisi kedudukan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Tak perlu bersusah payah mengangkat teori al-Ghazali, Ahmad Amin, al-Mawari, Salaby untuk melegalisasi menggugat posisi, kedudkan Abdurrahaman Wahid. Kesalahan seharusnya ditmpakan pada MPR yang memilih, menetapkan yang pernah mengalami stroke sebagai Presiden. Padahal yang pernah mengalami stroke sebenarnya sudah tidak sehat mental dan tidak sehat emosional lagi.

Islam tak pernah menyuruh menddongkel, menggugat posisi, kedudukan Kepala Negara betapa pun zhalimnya. Terhadapa Fir’aun sekali pun, Nabi Musa tak pernah diperintahkan untuk menumbangkan kekuasaan Fir’aun. Nabi Musa hanya diperintahkan untuk mengingatkan Fir’aun dan kaumnya dengan cara-cara yang persuasif (qaulan laiyinan) agar ia mau kembali menegakkan keadilan, kebenaran, tidak berlaku zhalim (QS Thaha 20:44).

Islam hanya membolehkan ahlul halli wal "aqdi (wakil-wakil rakyat) untuk menggugat kezhaliman kebijakan, policy Kepala Negara, dan bukan menggugat posisi, kedudukan Kepala Negara (Abul A’la al-Maududi : "Khilafah dan Kerajaan", 1984:133, 335-336, al-Asy’ari : "Maqaalat al-Islamiyah", jilid 2, hal 125). Bilamana Kepala Negara tak mau diingatkan, maka Islam menyuruh rakyat untuk bersabar menghadapi kezhaliman yang dilakukan oleh Kepala Negara dan aparatnya ("Tarjamah Riadhus Shalihin", Pasal Wajib Ta’at Pada Pemerintah Dalam Hal Yang Bukan Maksiyat, Dan Haram Ta’at Pada Maksiyat).

Islam mengajarkan agar senantiasa bersika adil terhadap siapa pun, termasuk terhadap Kepala Negara yang zhalim. "Dana janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidaka adil. Adillah, karena adil itu lebih dekat kepada tawa dan takutlah kepada Allah" (QS Maidah 5:8)

1

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home