Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Tuesday, October 21, 2008

Kembali Kepada Qur:an dan Sunnah
Bagaimana wujudnya ? Apakah dengan meninggalkan seluruh hasil ijtihad, koleksi fiqih orang-orang masa lalu, menyeleksi seluruh hadits, menghimpun seluruh hadits yang benar-benar sahih, yang tak ada cacatnya, yang tak diperselisihkan kesahihannya, menyusun koleksi fiqih yang semata-mata hanya mengacu, “ar-ruju’ ila al-Qur:an wa Sunnah” ? Namun tak seorang pun orang-orang masa kini, baik perorangan maupun kelembagaan yang telah berhasil menyusun “Kitab Hadits Sahih Lengkap” dan “Kitab Fiqih Lengkap”.
Apakah dengan demikian juga harus menggugat, meragukan otoritas, kredibilitas hasil ijtihad, koleksis fiqih orang-orang masa lalu dengan alsan tak seorang pun yang luput dari kesalahan ? Kebenaran mutlak hanya punya Allah. Pada manusia hanya kebenaran relative. Tak ada manusia yang bebas dari kesalahan. Guru, Ustadz, Da:’i, Muballigh, kiyai, Ajengan, Ulama, bahkan Nabi dan Rasul sekalipun tak ada yang ma’shum, yang bebas dari kesalahan. Bahkan sampai paa pendirian, bahwa Nabi Muhammad saw tidak berhak untuk menjelaskan tentang ajaran al-Qur:an (salah satu ajaran Inkarus Sunnah). Semuanya bias dikecam, dikritisi, dikoreksi, digugat. Dengan mengaci pendirian semacam ini, maka disusunlah gugatan halus terhadap kema’shuman, kemutlakn kebenaran Muhammad saw, gugatan halus terhadap sabda Rasulullah saw tentang “Fadhilah Para Sahabat, kemudian Tabi’in, Tabi’it Tabi’in”, antara lain seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam ‘AlJami’ush Shahih”nya, pada Kitab “Asy-Syahadat” (Simaklah antara lain pendirian Pemred SUARA MUHAMMADIYAH, Abdul Munir Mulkhan : “Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan”, Bentara KOMPAs, Sabtu, 1 Oktober 2005, hal 44).
Orang-orang masa lalu dipandang :
- Ada yang mengambil hadits yang tidak disepakati (kesahihannya) oleh semua pihak sebagai dalil.
- Ada yang mengambil hadits lemah (dha’if) baik qauli (perkataan) dan atau fi’li (perbuatan Nabi saw sebagai dalil.
- Ada yang tidak mengambil hadits lemah (dha’if), tetap mengambil fi’li (perbuatan) sahabat sebagai dalil.
- Ada yang tdaik mengambil hadits lemah (dha’if), dan tidak mengambil fi’li (perbuatan) sahabat, tetap mencari-cari di luar itu sebagai dalil.
Apakah dengan demikian juga harus meninggalkan, membuang qauli (perkataan) dan fi’li (perbuatan) sahabat, baik berupa ijma’ fi’li, maupun ijma’ sukuti, karena derajat-martabatnya hanya dipandang sampai mauquf.

Apakah maksud wasiat Rasulullah : “Maka berpeganglah kamu dengan sunnati (perjalananku) dan sunnat al-khulafa ar-rasyidin al-mahdiyin (perjalanan khalifah-khalifah yang cendekia, yang mendapat hidayah). Gigitlah kuat-kuat dengan gigi-gerahammu (berpeganglah kuat-kuat padanya)” (dalam HR Abu Daud, Tirmidzi, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Perintah rajin menjalankan sunnah dan tata-tertibnya”).
Pada akhir Juni 2008 di kota Bandung tersebar fotokopian 12 halaman, yang pada halaman awal terbaca “Naskah Musyawarah MAJLIS TARJIH SE-WILAYAH JAWA BARAT Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 / 25 s/d 26 Sya’ban 1393 Bandung, Dikeluarkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih Jawa Barat”. Namun pada halaman akhir tak tercantum nama dan tandatangan dari Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat. Di antara yang dputuskan oleh Majlis adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan , bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan “tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua dalam shalat ‘aidain”, kesemanya tak ada yang shahih seperti dinyatakan dalam “Subulus Salam” Shan’ani, “Bidayah Mutahid” Ibnu Rusydi, “Syarah Sunan Baihaqi”. Majlis sendiri pun tak menyajikan hadits shahih yang merangkan bawa pada shalat ‘aidain, Rasulullah hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua. Bahkan keempat Imam Mujtahid pun tak ada yang pada shalat ‘aidain hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua seperti yang diterangkan oleh Ibnu Rusydi dalam “Bidayah Mujtahid”.
Pertanyaan : Dalam masalah agama, apakah seluruh amal ibadah orang-orang dahulu harus direvisi, dikaji ulang kembali, ataukah hanya cukup memilih saja di antara yang sudah dibahas oleh orang-orang dahulu itu ?
Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kmbalilah Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).
Pada akhir Juni 2008 di kota Bandung tersebar fotokopian 12 halaman, yang pada halaman awal terbaca “Naskah Musyawarah MAJLIS TARJIH SE-WILAYAH JAWA BARAT Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 / 25 s/d 26 Sya’ban 1393 Bandung, Dikeluarkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih Jawa Barat”. Namun pada halaman akhir tak tercantum nama dan tandatangan dari Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat. Di antara yang dputuskan oleh Majlis adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan , bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan “tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua dalam shalat ‘aidain”, kesemanya tak ada yang shahih seperti dinyatakan dalam “Subulus Salam” Shan’ani, “Bidayah Mutahid” Ibnu Rusydi, “Syarah Sunan Baihaqi”. Majlis sendiri pun tak menyajikan hadits shahih yang merangkan bawa pada shalat ‘aidain, Rasulullah hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua. Bahkan keempat Imam Mujtahid pun tak ada yang pada shalat ‘aidain hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua seperti yang diterangkan oleh Ibnu Rusydi dalam “Bidayah Mujtahid”.
(BKS0810211100)

Pertanyaan : Dalam masalah agama, apakah seluruh amal ibadah orang-orang dahulu harus direvisi, dikaji ulang kembali, ataukah hanya cukup memilih saja di antara yang sudah dibahas oleh orang-orang dahulu itu ?

Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kmbalilah Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home