Timbulnya ahli bid’ah (aliran yang menyimpang)
Salah satu ahli bd’ah adalah aliran Qadariyah. Mereka berpendapat bahwa tidak ada takdir atas perbuatan seseorang hamba. Seorang hamba itu mempunyai kehendak dan kekuatan yang terpisah dari kehendak dan kekuasaan Allah. Yang pertama kali memunculkan pendapat ini adalah Ma’bad alJuhani pada akhir-akhir masa Sahabat. Ia mengambil pendapat ini dari seorang Majusi yang tinggal di daerah Bashrah (Syaikh Muhammad bin Shalih al’Utsaimin : “Inilah aqidahmu : Petunjuk menuju jalan yang diridhai Allah”, terbitan Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, 2007:271; Romly Qomaruddin Abu Yazid : “Memahami Manhaj Islam, Membedah Ummahatul Firaq”, terbitan AlBahr Press, Jakarta, 208:47).
Akar logika berpikir ahli bid’ah (liberalisme, rasionalisme, mu’tazilah) dapat ditelusuri, disimak dari pola pikir tokohnya Abu Ali alJubba’i. Dalam suatu pertukaran pikiran, muridnya Imam Hasan alAsy’ari (260-324H) mengajukan pertanyaan : “Kalau anak kecil yang meninggal dunia (tidak masuk surga karena belum sempat mengalami hidup ta’at kepada Tuhan) berkata : Ya Rabbi, ini bukan salahku. Seandainya Kaupanjangkan umurku niscaya aku akan ta’at dan mengabdi kepadaMu seperti orang mukmin”. AlJubba’i memberikan jawaban : “Tuhan akan berkata : Jika Kupanjangkan umurmu, niscaya kamu akan berbuat maksiat (dosa) akibatnya kamu akan mendapat siksaan. Demi keselamatanmu Aku matikan kamu pada waktu kecilmu” (HN Laily Mansur, L.Ph : “Imam Asy’ari, Bina Ilmu, Surabaya, 1981:22).
Salah satu ahli bid’ah yang lain adalah aliran Jahmiyah. Aliran ini dinisbahkan (disandarkan) kepada Jaham bin Shafwan yang dibunuh oleh Salim bin Ahwaz tahun 121H. Dalam masalah sifat Allah, mereka tergolong Mu’aththilah (menghilangkan sifat Allah). Dalam masalah takdir, mereka tergolong Jabariyah. Dalam masalah iman, mereka tergolong Murji:ah. Iman itu hanya pengakuan dalam hati saja, sedangkan ucapan dan perbuatan tdak termasuk dalam keimanan (“Inilah aqidahmu”, 2007:271).
Munculnya paham aliran yang menyimpang dalam Islam
Terdapat hadis yang menyatakan bahwa umat Islam tidak akan pernah tersesat selama ia berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi (1).
Terdapat hadis yang menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, hanya satu golongan yang selamat (2). Hadis ini masih diperselisihkan tentang kesahihannya, jadi bersifat zhanni (nisbi), bukan qath’I (mutlak) (3).
Di dalam politik, pemerintahan, kenegaraan, kepemimpinan, yang mula-mula muncul adalah paham Khawarij, kemudian muncul paham Syi’ah.
Khawarij lebih dulu memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian baru berusaha mencari alsan begi pembenaran pemberontakannya.
Sedangkan Syi’ah, pahamnya yang lebih dulu terbentuk, kemudian baru mulai mengadakan pemberontakan (4).
Jadi Khawarij, lebih dulu melancarkan aksi pemberontakannya, kemudian baru menyusun teori bagi pembenaran aksinya. Menurut teorinya, kepemimpinan seorang imam, amir, khalifah batal, kalau kebijakannya mengacu kepada ijtihad, pendapat orang, bukan langsung mengacu pada Qur:an.
Sedaangkan Syi’ah lebih dulu menyusun teori imamahnya, barulah kemudian melakukan aksi sesuai teori imamahnya. Menurut teori imamahnya, yang berhak memegang kendali pemerintahan setelah Rasulullah wafat adalah Ali bin Abi Thalib.
Baik Khawarij, maupun Syi’ah menyusun teori, pahamnya berdasarkan interpretasinya masing-masing terhadap Qur:an.
Di dalam akidah, kepercayaan muncul paham Qadariah, Jabariah, Asy’ariah, Maturidiah, dan lain-lain. Masing-masingnya menyusun teorinya berdasar pemahaman, interpretasinya pada Qur:an dan Hadis (5).
Di dalam ibadah, fikih muncul paham Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, Hanabilah, Zhahiriah, dan lain-lain. Masing-masing juga menyusun teori, paham, mazdhab dan metodenya berdasar interpretasinya pada Qur:an dan Hadis.
Di dalam tasauf juga muncul berbagai macam paham, seperti Naqsyqabandiah, Qadiriah, Samaniah, Syatariah, Tijaniah yang menurut Mohammad Natsir lebih bertolak pada rasa dan intuisi katimbang interpretasi, pemahaman akan Kitabullah dan Sunnah Rasul (6). Interpretasinya lebih cenderung pada signal, isyarat.
Syahrastani (479-584H) mengarang “AlMilal wan Nihal” yang menerangkan berbagai paham agama dan aliran-aliran kepercayaan samapai masa hidupnya (7). Syahrastani menyebut empat golonga besar, yaitu Qadariah, Shifatiah, Khawarij dan Syi’ah (8).
Berdasar dalal zhanni, bukan dalil qath’I, Ibnul Jauzi (wafat 597H) melihat ada enam golongan pokok yang masing-masing terpecah menjadi dua belas golongan, sehingga seluruhnya berjumlah tujuh puluh dua golongan. Keenam golongan pokok itu ialah : Haruriah, Qadariah, Jahmiah, Murjiah, Rafidhah, Jabariah (9).
Dalam Sahih Bukhari pada “Kitab alFitan” terdapat hadis-hadis tentang tanda-tanda hari kiamat (10) dan sifat-sifat dajjal (11).
Dalam Sahih Bukhari pada “Kitab alIman” terdapat hadis tentang testing, pengujian untuk membedakan antara Nabi dan yang bukan, menurut versi Heraklius (Herkules ?).
MUI Pusat merinci sepuluh kriteria untuk membedakan paham aliran yang sesat dan yang bukan sesat (12).
Di Indonesia kini marak muncul paham aliran baru. Masing-masing menyusun teori berdasar interpretasinya terhadap Qur:an untuk pembenaran pahamnya.
HM Amin Djamaluddin, Hartono Ahmad Jaiz dengan LPPInya (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) aktif menyoroti, mengkaji, menggugat paham aliran sesat.
Ahmadiah, alQadiyah menggunakan hadis tentang turunnya Nabi Isa, turunnya Imam Mahdi, dan ayat Qur:an tentang naaiknya Nabi Isa (QS 3:55) menurut interpretasinya dalam menyusun teorinya, bahwa kedatangan alMasuh alMau’ud itu sudah disebutkan dalam Kitab Suci terdahulu, dan dialah alMasih alMau’ud itu (al masih adDajjal).
Untuk menguatkan pendiriannya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, dan dialah Nabi Isa alMasih yang dijanjikan akan turun di akhir zaman, Kaum Ahmadiyah menguatkan pendapat bahwa Nabi Isa telah mati. Namun orang yang berpendapat bahwa Nabi Isa alMasih telah mati, bukanlah berarti bahwa orang itu telah menganut paham Ahmadiyah, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Musthafa aMaraghi, Mahmud Syaltut, Abdul Karim Amrullah (“Tafsir AlAzhar”, III, hal 185, simak juga : “AlQadyany wal Qadyaniyah, oleh Abu Hasan Ali alHasani anNadwi.
Syi’ah menggunakan hadis tentaang turunnya Imam Mahdi, serta mengarang-ngarang tentang kesuperan Ali bin Abi Thalib dalam mengembangkan teori imamahnya.
Inkarus Sunnah, alQur:an Suci menggunakan interpretasinya terhadap Qur:an dalam menyusun teori, pahamnya.
Hidup Dibalik Hidup (HDH) mengingkari bahwa Nabi Muhammad saw dikurniai Allah wewenang untuk mengajukan syafa’at bagi ummatnya nanti pada hari Hisab.
Islam Jama’ah juga menggunakan interpretasinya terhadap Qur:an dan Hadis dalam menyusun teori, paham manqulnya.
Mahaesa Kurung alMukarramah juga menggunakan interpretasinya terhadap Qur:an dan Hadis dalam menyusun, mendukung teori, paham spiritualnya. Ia punya website, situs sendiri.
Wahidiah juga menyusun teori, paham spiritualnya menggunakan interpretasinya terhadap Qur:an dan Hadis. Menurut teorinya, olah batin (spiritual) itu mengacu dan mengikuti ungkapan, slogan, semboyan “Lillah-Billah, LirRasul-BirRasul, LilGhauts-BilGhauts”. Tunduk, patuh, setia pada alGhauts, karena ia punya wewenang memberikan syafa’at (13). Wahidiah juga punya situs sendiri.
Simak antara lain dalam :
1. “Muwaththa’” Imam Malik.
2. “Manhaj alFirqah an Najiah” oleh Muhammad bin Jamil Zinu.
3. PANJI MASYARAKAT, No.498, 21 Maret 1986, “Tentang sabda Nabi saw : Umatku akan pecah 73 golongan” oleh Muhammad Baqir.
4. “Sejarah dan Kebudayaan Islam” oleh Prof Dr A Syalabi, jilid II, 1982:308.
5. “Pedoman Pokok dalam Kehidupan Keagamaan Berdasarkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah” oleh KH Tb M Amin Abdullah alBantani, 1984.
6. “Sanggahan terhadap Tasauf dan Ahli Sufi” oleh SA alHamdany, 1982.
7. “Ulama Syafi’I” oleh KH Sirajuddin Abbas, 1975:157-162.
8. “AlMilal wan Nihal” oleh Syahrastani.
9. “Godaan Sytan” oleh Md Ali alHamidy, 1984:128-136.
10. “Jalan Menuju Iman” oleh Abdul Madjid azZaidan.
11. “Tafsir alAzhar” oleh Prof Dr Hamka, juzuk IX, 1982:191-197, re ayat QS 7:187.
12. RAKYAT MERDEKA, Rabu, 7 November, 2007.
13. “Pedoman Pembinaan Wanita Wahidiyah” oleh Penyiaran Shalawat Wahidiyah Kedunglo, Kediri, Jatim.
14. “Sanggahan terhadap Tasauf”, 1982:20-23.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home