Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Saturday, January 05, 2008

Antara budaya emosional dan budaya rasional

Budaya kita, budaya Indonesia adalah budaya emosional (otot, okol). Tradisi mudik lebaran merupakan salah satu wujud budaya emosional. Acara selamatan, acara tahunan juga wujud budaya emosional. Bahkan tampilnya isteri pejabat bersama suami dalam acara resmi adalah juga budaya emosional. Budaya emosional bisa saja ditemukan di Timur, bahkan bisa pula di Barat. Tak ada bedanya antara Timur dan Barat dalam mengadopsi budaya emosional. Tegasnya budaya emosional bukanlah khusus budaya Timur, bukan juga budaya Barat. Tayangan televisi menyuburkan budya emosional. Tayangan pornografi, pornoaksi dan tayang mistik, klenik adalah sebagian kecil yang menyuburkan budayaa emosional.

Tujuh puluh tahun yang lalu, secara sengit, seorang pemuda, Sutan Takdir Alisyahbana (waktu itu masih berusia 27 tahun) mengkritik budaya kita, budaya emosional. Dalam karangannya yang berkepala “Synthesa Antara Barat dan Timurr”, tersimpul pokok pikiran Sutan Takdir Alisyahbana, yang secara tegas mengemukakan bahwa “Bangsa kita harus mengambil Islam yang nuchter” (dinamis, aktif, berkobar, bergelora, menyala) atau dengan mengambil levenshouding Barat” (“Polemik Kebudayaan”, 1948:100). Dalam karangannya yang berkepala “Semboyan yang Tegas”, Sutan Takdir Alisyahbana menegaskan bahwa “Indonesia sekarang perlu akan putera yang tajam pikirannya, individu yang mempunyai pikiran, pemanangan dan perasaan sendiri, yang tahu mengemukakan dan mempertahankan kepentingan dan haknya yang senantiasa berdaya upaya memperbaiki kehidupan dan penghidupan lahir batin” (idem 1948:40). Dengan susunan kata lain, dalam karangannya yang berkepala :”Pekerjaan Pembangunan Bangsa”, Sutan Takdir Alisyahbana menegaskan “… cara bekerjanya tidak lain daripada mendidik manusia baru, mendidik jiwa baru, yang satu cabang daripada kebudayaan internasional sekarang yang memakai tiang-tiang agung rasionalisme, individualisme dan positivisma, atau dengan pendek : “het moderne denken” (Idem 1948:136). Ringkasnya, Sutan Takdir Alisyahbana mengusung “Westernisme”, budaya rasional yang berakaar pada intelektualisme, individualisme, egoisme, materialisme.

Tak seorang pun yang sejalan dengan Sutan Takdir Alisyahbana. Bahkan semua lawan polemiknya yang juga lebih senior (lebih tua) daripada dia lebih menyukai mempertahankan budaya emosional yang diperkaya dengan budaya raasional. Tegasnya lebih menyukai “Synthesa Antara Barat dan Timur”. Meskipun semua yang terlibat dalam polemik itu sama-sama intelek, namun tingkat kekritisannya berbeda-beda. Keintelekan seseorang tak menjamin akan berpikir logis-rasional. Budaya emosional lebih terkait pada dominasi mempertahankan tradisi. Tegasnya budya tradisional aalah budaya emosional

Revolusi kebudayaan terbesar yang pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia adalah revolusi dari budaya syirik ke budaya tauhid yang dilancarkan oleh para Nabi sejak Nuh as sampai Muhammad saw. Budaya syirik berakar pada ideology, akidah syirik, sedangkan budaya tauhid berakar pada ideology, akidah tauhid.

Menurut Abu A’a alMaududi, bentuk pekerjaan yang dilakukan para Nabi dan Rasul aalah mencetuskan, melaksanakan pergolakan ideology, revolusi wawasan, membentuk, mengatur gerakan revolusi poltik, menegakkan, memberlakukan hukum-hukum Allah, hukum-hukum Islam (“Sejarah Pembaruan dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama”, 1984:39).

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home