Risalah Jihad
1 Jama’ah jihad
Jama’ah jihad gigih berjuang menegakkan Kalimatullah yang termaktub dalam Qur:an. Mengunggulkan Dinulhaq di atas yang lain (QS 61:9). Berdakwah menyemaikan akidah Islamiyah (QS 16:125). Menyeru manusia agar hanya bertuhankan Allah swt, bernabikan Muhammad saw, berkitab Qur:an. Rela diatur dengan Kitabullah. Yang Yahudi rela diatur dengan Taurat. Yang Nasrani rela diatur dengan Injil. Yang Islam rela diatur dengan Qur:an (QS 5:66). Agar berbuat adil, beramal saleh, berbuat ihsan, berbuat baik. Benar dalam segala hal. Tidak berlaku aniaya. Tidak mengganggu apa dan siapa pun. Tidak berbuat onar dan makar. Tidak melakukan mo-limo. Agar memberantas kejahatan, penindasan, penganiayaan, penyelewengan, kesewenang-wenangan, kemaksiatan (QS 16:90). Meskipun orang-orang menghinanya, melecehkannya (QS 9:33).
Dalam upaya menegakkan Kalimatullah, jama’ah jihad bergerak secara terorganisir dalam satu barisan yang teratur (QS 61:4), dengan satu program yang realistis rinci terpadu, serta dengan pembagian tugas yang jelas dan tegas, yang hanya berorientasi pada Islam semata, dan mengacu pada sikap Rasulullah dan para sahabat beliau, dengan tujuan untuk membela dan mempertahankan tegaknya Kalimatullah, dengan satu pimpinan komando yang berwibawa yang mampu mengatur taktik strategi yang dipatuhi oleh semuanya.
Aktivitas jama’ah jihad bersifat menyeluruh, totalitas (QS 2:208), serba multi, multi-dimensi, multi-disiplin dengan multi-media (QS 8:60), mencakup ipoleksosbudmil. Perjuangan akademik, ideologi, politik, sosial, kultural, ekonomi dan perjuangan bersenjata (iman, harta, logika). Menyiapkan tenaga-tenaga profesional berjiwa Islam dalam berbagai disiplin keahlian yang akan menangani masalah kenegaraan (eksekutif, legislatif, yudikatif). Mencakup dakwah, amar bil makruf, nahi anil munkar (QS 3:104) melalui jihad tablighi, jihad taklimi (tarbiyah), aksi massa (aktivitas sosial), jihad siyasi (jalur politik-diplomatik, parlementer-konstitusional), jihad qathli (jalur kekuatan bersenjata). Semuanya itu merupakan jalur, metode, thuruq bagi pencapaian tujuan.
Dalam hubungan ini, sesuai dengan pandangan, visi dan persepsinya tentang cara dan strategi menegakkan Kalimatullah, Ir Soekarno, tokoh Nasional-Marxis, dalam sidang BPUUPKI tanggal 1 Juni 1945 dengan semangat berapi-api, berkobar-kobar menganjurkan tokoh pejuang Islam sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar kursi DPR diduduki oleh utusan-utusan Islam, sehingga hukum-hukum yang dihasilkan DPR itu adalah hukum Islam. Namun dalam praktek perjuangannya, Ir Soekarno sama sekali tak tertarik memperjuangkan tegaknya Kalimatullah, tegaknya syari’at Islam. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Ir Soekarno dengan ide Nasakomnya (Nasamarx) menjegal tegaknya syari’at Islam. Ir Soekarno yang semula menganjurkan memilih jalur parlemen-konstitusional, tapi ia sendiri berseberangan, bahkan bermusuhan dengan Islam dalam hal menegakkan Islam.
Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya di Mesir, Maududi dengan Jami’atul Islami-nya di Pakistan, Hasan Turabi di Sudan, Taqiyuddin an-Nabhani dengan Hizbut Tahrir-nya di Yordania, dan lain-lain, berupaya amengimplementasikan syari’at Islam dengan lebih memusatkan perjuangannya melalui jalur politik, jalur parlemen dan jalur dakwah.
Berbeda dengan semua itu, Kartosoewirja lebih maju, dengan memilih jalur perjuangan bersenjata dengan memproklamirkan berdirinya Negara karunia allah, Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 27 Agustus 1948.
Lain lagi dengan Prof Raojiyah Garaudy (Roger Garaudy), mantan pakar strategi marxis (anggota politbiro Partai Komunis Perancis) yang dalam teori penyebaran Islam-nya mengemukakan, bahwa agar syari’at berguna untuk diterapkan di berbagai masyarakat manusia, maka Islam harus menjadi milik golongan tertindas (kelas proletar ?), dan harus memberi ruh harapan dan semangat hidup bagi semua (QS 8:24).
Sasaran ruang lingkup jihad yang paling luas adalah jihad tablighi (dakwah). Meliputi antara lain : masyarakat transmigrasi, lembaga permasyarakatan, generasi muda, pramuka, kelompok orang tua, kelompok wanita, kelompok masyarakat industri (buruh, kuli, supir), kelompok profesi, masyarakat daerah rawan, masyarakat suku terasing, pondok sosial, rumah sakit, komplek perumahan, asrama, masyarakat akademis, karyawan, pejabat, gelandangan, tuna susila, masyarakat pasar.
Aktivitas jihad tablighi sangat beragam. Bisa berupa penerbitan buku-buku agama, penerbitan surat kabar, majalah atau buletin dakwah, pidato, diskusi, ceramah, pengajian, konsultasi, aktivitas seni budaya, dan lain-lain.
Jama’ah jihad gigih berjuang menggalang persatuan kesatuan antar sesama, “kalbunyan yasyudduhu ba’dhu ba’dha”. Dengan segenap kemampuan yang dimiliki secara optimal maksimal memperjuangkan tegaknya “kalimatullah hiyal ‘ulya”, tegaknya ajaran dan aturan Allah di tengah-tengah masyarakat, tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan, berlakunya hukum Allah di muka bumi sebagaia hukum positip, terciptanya kesempatan melaksanakan “amar fahkum bainannas bima anzalallah”, terwujudnya “’izzul Islam wal Muslimin”.
Jama’ah jihad tak akan lupa dan lengah dari sasaran tujuan “li i'la kalimatullah hiyal ‘ulya”. Asas dasar landasan pangkal tolak jama’ah jihad adalah keyakinan dan pengakuan akan “la ilaha illalah”, hanyalah Allah yang Tuhan, “qul huwallahu ahad”, “alladzina qalu rabbunallah”, hanyalah ajaran dan aturan Allah pedoman dan pandangan hidup, tanpa dicampuri ajaran lain. Inilah tugas kewajiban yang tersandang terpikul pada jama’ah jihad.
Jama’ah jihad yang ilmuwan/cendekiawan gigih berjuang “bil-qalam”, “bil-kalam”, “bil-lisan” menunjukkan, menjelaskan kebenaran, ketinggian, keagungan ajaran, aturan Islam secara objektif ilmiah, di segala sektor bidang kehidupan, keagungan sistim politik, ekonomi, sosial, budaya, militer yang berlandaskan ajaran Islam. Sekaligus meredam dan membungkam suara sumbang yang penuh caci maki. Ini ditujukan terhadap yang non-Muslim, dan yang Muslim pengagum non-Muslim, yang terpesona dengan ajaran dan aturan yang bukan Islam.
Jama’ah jihad gigih berjuang melancarkan sorotan, kritik, kecam tajam, koreksi terhadap semua ajaran, aturan yang bukan Islam secara objektif ilmiah dengan menggunakan ajaran yang bukan Islam itu sendiri, dengan menggunakan studi kritis terhadap karya orientalis. Ajaran yang bukan Islam ini, ada yang bersifat internasional, seperti komunis, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, nasionalisme, sekularisme beserta antek anak-cucunya. Ada pula yang bersifat lokal, seperti javanisme, hinduisme.
Dalam hal ini diperlukan pemahaman dan penguasaan tentang kristologi, yudiologi, komunistologi, kapitalistologi, javanistologi, sejarah lahirnya Pancasila, jalur pembudayaan Pancasila, latar belakang pandangan hidup perumus Pancasila, isi pidato lahirnya Pancasila, susunan rumusan isi Piagam Jakarta, Dekrit Presiden, PMP, KB, Asas Tunggal, Dwifungsi, P4, Loyalitas Tunggal, dan lain-lain. Komunisme harus dikecam dengan komunisme. Kapitalisme harus dikecam dengan kapitalisme. Javanisme harus dikecam dengan javanisme. Ini juga dihadapkan ditujukan kepada yang non-Muslim dan yang Muslim pengagum non-Muslim.
Jama’ah jihad gigih berjuang menangkis, menolak kritik, kecaman yang dihadapkan pada ajaran Islam dengan argumentasi objektif ilmiah, dengan hujah balighah. Mempergunakan piranti rasio untuk menolak serangan musuh-musuh Islam. Kafir dijihad dengan senjata. Munafik dijihad dengan nalar. Jihad ada yang dengan tangan, lidah, hati, dan ada yang dengan mimik/ekspresi wajah yang menunjukkan kejijikan, kebencian, ketidaksenangan. Ini pun juga dihadapkan ditujukan kepada yang non-Muslim dan yang Muslim pengagum non-Muslim.
Jama’ah jihad gigih berjuang membendung, mencegah mengalirnya arus ajaran yang bukan Islam di tengah-tengah masyarakat secara persuasif. Ini dihadapkan ditujukan kepada Muslim bukan ilmuwan/cendekiawan. Jalur salurannya melalui malis dakwah dalam taklim.
Jama’ah jihad gigih berjuang membersihkan, memurnikan ajaran Islam dari campuran ajaran yang bukan Islam. Membersihkan akidah dari tahyul, khurafat. Membersihkan ibadah dari bid’ah. Bid’ah itu mudah menyatu dalam budaya seremoni. Ini juga dihadapkan ditujukan kepada yang Muslim bukan ilmuwan/cendekiawan, melalui dakwah dalam taklim.
Jama’ah jihad yang bukan ilmuwan/cendekiawan gigih berjuang “bil-fi’li”, “bil-‘amali”. Menampilkan keagungan Islam dalam segenap perbuatan kehidupan diri pribadi dan kehidupan bermasyarakat, seagai masyarakat imtaq, masyarakat marhamah. Membentengi diri dari arus ajaran yang bukan Islam. Berbuat, bersikap, berprilaku yang menguntungkan Islam, yang memantulkan citra Islam, bukan yang menimbulkan fitnah terhadap Islam. “Janganlah kamu mengajak berbicara dengan suatu kaum yang pembicaraanmu itu tidak bisa dicerna oleh akal mereka kecuali akan mendatangkan fitnah di kalangan mereka” (HR Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Jama’ah jihad gigih berjuang melakukan studi kritis terhadap karya orientalis. Para orientalis dengan dilandasi semangat “reconquesta” (semangat balas dendam) dan jiwa kebencian terhadap Islam dan ummatnya (QS 2:120) berupaya mengkaji, mendalami, menganalisa, meneliti, menyelidiki akidah, tradisi, akhlak, khazanah, kekuatan dan kelemahan Islam dan ummatnya (TWOS : Treath, Weakness, Opportunity, Strength). Hasil kajiannya itu diterbitkan dalam bentuk karya yang katanya ilmiah yang memuat antara lain : laporan hasil kajiannya terhadap Islam dan ummatnya, serta sekaligus juga memuat advis, nasehat, saran, usulan, bahan pertimbangan bagi penyusunan strategi perjuangan kolonialisme, imperialis nasrani untuk menguasai Islam dan ummatnya, sehingga tata moral, politik, sosial, ekonomi, spiritual tunduk pada sistem moral-politik-sosial-ekonomi-spiritual imperialis nasrani. Lothrop Stoddard, seorang penulis yang sangat reaksioner, yang sangat mendambakan kepemimpinan dunia terus menerus dipegang oleh ras Eropis Nordis sengaja menulis buku “Dunia Baru Islam” yang memaparkan bahaya “Kebangkitan Islam” bagi dominasi ras Eropis Nordis, sekaligus menunjukkan cara-cara penanggulangannya. Semangat, aspirasi kolonialnya sangat jelas terpancar dalam keseluruhan buku itu.
Sebelum berjihad, jama’ah jihad memahami benar tentang dasar dan tujuan serta langkah yang akan diambilnya. Dasar dan tujuannya tetap, tak berubah sepanjang masa. Semata-mata hanya demi tegaknya Kalimatullah. Tapi langkah, taktik, strategi bisa saja berubah mengikuti situasi dan kondisi. “Everything depend on condition time and place” (Soegiarso Soerojo : “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”, 1988:394).
Jama’ah jihad memahami benar akan isyarat QS 8:50 bahwa penyerangan terhadap kubu musuh tidak boleh mulai dilancarkan tanpa didahului dengan pernyataan perang sebelumnya. Memahami benar bahwa tidak boleh memulai perang lebih dahulu, tidak boleh memulai permusuhan dengan siapa pun. Memahami benar akan perintah QS 8:60 bahwa untuk berjihad secara fisik dalam bentuk qithal haruslah mempersiapkan kemampuan dan pengetahuan tempur sserta sarana, dana dan prasarana pendukungnya. Memahami benar akan makna QS 4:46 agar membina persatuan dan kesatuan serta kelompok, memperhatikan sikon.
Setelah melangkah, jama’ah jihad berpantang surut, onward no retreat. Bila telah bertekad bulat, bertawakkal menyerah kepada ketentuan Allah (QS 3:159). Dengan dalih apa pun, jama’ah jihad tak akan melucuti diri sendiri dengan menyerahkan persenjataan betapa pun keadaannya. Itu adalah amal perbuatan yang sia-sia, yang sangat memalukan.
Jama’ah jihad akan berupaya meyakinkan semua pihak, bahwa pedang Islam itu tumpul. Tak berdaya terhadap mereka yang bukan penindas atau penganiaya. Tak berdaya terhadap mereka yang tidak membinasakan dan merintangi Islam. Tak berdaya terhadap mereka yang tidak merusak kerukunan dan keamanan. Islam tidak mengganggu dan tidak merusak. Nyawa dan harta siapa pun dijamin Islam keamanan dan keselamatannya. Pedang Islam baru sangat tajam terhadap yang berupaya menimbulkan perpecahan dan melakukan penganiayaan. (Bks 22-4-2000)
2 De-formalisasi Islam (De-Islamisasi)
Dengan entengnya meluncur ucapan “Secara pribadi sya kok nggak apa-apa Presidennya orang Kristen sekalipun. Pokoknya, asal ia bisa membuat masyarakatnya menjadi lebih baik, ia bisa membangun dan mensejahterakan masyarakat”. Kepala negara yang non-Islam tapi adil, dipandang lebih utama dari yang Islam tapi diktatoris.
“Mengapa harus takut akan kristenisasi. Mengapa harus marah, merintangi orang Kristen duduk di DPR. Ini sikap kekanak-kanakan. Kalau memang beriman dengan benar, dekat dengan umat, kristenisasi nggak akan jalan” (Zastrouw Ngatawi : AMANAT 28/10/99). Tak peduli dengan rambu-rambu larangan “mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (QS Maidah 5:51).
Ucapan ini keluar dari yang tak setuju bila syari’at Islam diberlakukan secara formal sebagai hukum positif dalam perundang-undangan (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU). Tak setuju tegaknya syari’at, hukum Islam. Tak setuju aktivitas mu’amalah ditata berdasarkan syari’at Islam (Abd A’la : KOMPAS 22/10/99).
Benci terhadap legal dan ritual formal Islam. Benci terhadap ucapan Assalamu’alaikum. Benci terhadap aroma, nuansa, suasana, busana Islam. Syari’at Islam dipandang primitif, barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram, kejam, biadab, tidak manusiawi.
Secara sistimatis, terencana, terarah, terprogram, berkesinambungan berupaya secara aktif menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan, memasung, mencabut, memenggal, mengebiri, mengikis syari’at Islam (legal dan ritual) dari mu’amalah (Musykilat Dalam NU.
De-formalisasi Islam (De-Islamisasi) juga dilakukan oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam yang paham akan kitab Kuning. Bisa dilakukan dalam bentuk stigmatisasi, lebelisasi, nasionalisasi, sinkritisasi (Musykilat Dalan NU).
Mencap yang berupaya memformalisasikan syari’at Islam seagai sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalis, menudingnya sebagai berpikiran picik, sontok, sempit, sektorial, parsial.
Menyerukan agar umat Islam berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, yang hanya mengacu pada Islam. Yang ya’lu, yang unggul adalah nasionalisme, bukan syari’at Islam. Haruslah berpikiran nasionalis, jangan Islami.
Memisah-misahkan, mempertentangkan antara hakikat (yang substantif, substansial) dan syari’at (law, legal). Hanya mengambil sebatas hakikat, substansial, substantif, esensi, semangat, nilai (moral, seremonial, ritual) Islam, dan melepaskan syari’at Islam (legal-formal),
Memanipulasi dalil-dalil syar’i, mereduksi makna syari’at Islam, sehingga terpisah, bertentangan antara hakikat dan syari’at. Memanipulasi makna ayat QS Ali Imran 3, bahwa yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam. Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (aalternatif) (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU).
Islam itu urusan pribadi, masalah keyakinan yang menyangkut kenyataan batiniyah, yang dipertanggungjawabkan secara trasendental (Dr Taufik Abdullah : PANJI MASYARAKAT 537). Islam itu dipandang, dipahami hanya sebatas nilai, moral, etika, tak ada sanksi hukumnya, paling-paling sanksi moral atau sanksi sosial (Ir Haidar Baqir : PANJI MASYARAKAT 521).
Penguasa tak punya hak wewenang menetapkan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya (Amsar A Dulmanan : REPUBLIKA 30/7/98). Aktivitas politik haruslah bebas dari syari’at Islam, namun bisa saja mengacu pada hakikat Islam. Wakil rakyat di DPR haruslah berorientasi kebangsaan, dan harus meninggalkan dan menanggalkan orientasi ke-Islaman.
Hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh syari’at Islam sendiri (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU). Tak ada paksaan dalam Islam. (Tak ada hudud ?)
Menyebarkan isu bahwa al-Qur:an tidak pernah secara spesifik berbicara tentang negara Islam. Ide, gagasan tentang negara Islam itu tidak ada dan tidak harus ada. Ide itu akan menimbulkan gejolak sosial, perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional. Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara itu diatur oleh syari’at Islam (Musykilat Dalam NU).
Tudingan semacam itu pernah pula dulu disandangkan kepada Muhammad Rasulullah, manusia jujur terpercaya yang mereka propagandakan sebagai biang pencerai-berai, pemecah-belah antara seorang dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isterinya, dengan keluarganya. Padahal merekalah yang merusak ikatan solidaritas di kalangan Arab (Haekal : Sejarah Hidupo Muhammad).
Memuji-muji, menyanjung-nyanjung keagungan nilai-nilai Islam yang bersifat humanis-universal, seperti kemerdekaan, keadilan, persamaan, terlepas dari syari’at (legal-formal). Mementingkan kontekstual, dan mengabaikan tekstual. Mengambil prinsipnya, dan meninggalkan syari’atnya.
Diciptakan persamaan mutlak, tanpa membeda-bedakan budaya, etnis, agama, terlepas dari nash (teks). Mempersamakan secara mutlak antara pria dan wanita, antara Islam dan non-Islam (Yahudei, Nasrani, Zionis, Komunis) dalam segala hal, termasuk dalam hal warisan, kesaksian, bithanah, walaa (kepemimpinan), dan lain-lain. Sikapa saja boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanapa membeda-bedakan jenisnya dan agamanya. Yang harus digunakan sebagai parameter hanyalah alasan kemampuan, kapabilitas dan kredibilitas (Prof Chamamah Soeratno : SUARA AISYIYAH, No.8/1999).
Dengan memanipulasi makna keadilan, maka setiap upaya untuk memformalkansyari’at Islam dalam peraturan perundang-undangan dipandang diskriminatif terhadap non-Islam (Musykilat Dalam NU.
Tak setuju dengan kelompok usroh, masjid kampus (yang rata-rata di fakultas teknik dan fakultas kedokteran), yang memakai tabir dan jilbab, parpol-parpol yang berasaskan Islam (Zastrouw Ngatawi : AMANAT 28/10/99).
Gerakan-gerakan semacam itu dari perspektif historis dipandang selalu gagal, tidak pernah berhasil, tidak pernah mendapat simpati luas mayoritas ummat (Abd A’la : KOMPAS 22/10/99).
Menyebarkan isu bahwa syari’at Islam hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tapi hakikat Islam cocok bagi masyarakat beragam (heterogen, majemuk). Untuk masyarakat maajemuk, di alam komunitas pluralistik, maka hakikat Islam bisa dipakai sebagai acuan bersama.
Meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstual, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang, bersungguh-sungguh. Gejala mempersempit makna terminologi ajaran Islam ini tampaknya semakin membudaya.
Dengan memanipulasi makna ukhuwah, menyebarkan isu bahwa ukhuwah yang cocok adalah ukhuwah syu’ubiyah, ukhuwah wathaniyah, sedangkan ukhuwah Islamiyah akan menimbulkan perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional. Pengertian ukhuwah (persaudaraan), jama’ah (persatuan) menjadi kacau balau.
Menyerukan agar prinsip-prinsip Islam haruslah diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditiadakan. Melakukan sinkritisasi, mencapursarikan yang bukan Islam ke dalam Islam (Talbisul-haq bil-bathil) (Luthfi Basori : usykilat Dalam NU).
Memang ada periode, orang tidak lagi mengajak kebaikan dan melarang kemunkaran. Bahkan telah menganggap yang baik itu buruk (munkar) dan yang buruk itu baik (makruf). Menyamakan, menyamarkan, memanipulasi yang haram jadi yang halal. Lebih dari itu menyuruh yang munkar dan melarang yang makruf.
Memang ada suatu masa, Islam hanya tersisa namanya, sebutannya, predikatnya. Qur:an hanya tersisa tulisannya, naskahnya, teksnya. Terlepas dari Islam, bagaikan anak panah terlepas melesat dari busurnya, tanpa terasa, tanpa disadari, tanpa kelihatan, tanpa terdeteksi dan terobservasi.
Berseberangan dengan yang Islam, tapi akrab dengan yang non-Islam (semacam Zionis, Komunis, dan lain-lain). Tanpa peduli dengan nash-syari’at, yang menyatakan bahwa yang Hizbullah, yang benar beriman kepada Allah dan hari kemudian tak akan pernah bermesraan dengan yang kufur (QS Mujadalah 48:22).
Semula, menjelang proklamasi kemerdekaan RI, semangat untuk memformalisasikan syari’at Islam sangat menonjol. Hal ini tampak pada tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Namun sehari setelah proklamasi, yang sangat mencuat adalah semangat untuk mendeformalisasikan syari’at Islam. Hal ini sangat jelas terlihat pada pengebiran Piagam Jakarta dengan dihapusnya tujuh kata itu ke dalam Pembukaan UUD 18 Agustus 1945.
Upaya deformalisasi ini semakin santer. Ini bisa dilihat dari sidang Konstituante 1955 dan sidang MPR selang waktu 1971-1999. Dan kini dari upaya-upaya mempersamakan secara mutlak dalam hal gender antara pria dan wanita, dalam hal kepemimpinan (walaa) dan pertemanan (bithanah, waliijah), antara yang Islam dan bukan Islam (Yahudi, Nassshrani, Zionis, komunis, dan lain-lain). Bahkan jika seandainya diadakan referendum (jajak pendapat), hampir dapat dipastikan bahwa yang tidak menginginkan berlakunya syari’at Islam lebih besar jumlahnya dari pada yang menginginkan berlakunya syari’at Islam.
Sedangkan yang masih berupaya memformalisasikan syari’at Islam, kecewa dengan penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta itu. Ini merupakan awal kekalahan politik Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler.
Sebagiannya berusaha membentuk NII (Negara Islam Indonesia) 27 Agustus 1948. Sejak Daud Beureueh bergabung dengan NII, sejak diproklamirkan Negara Islam Aceh 21 September 1953, masyarakt Tanah Rencong berjuang mengembalikan tujuh kata Piagam jakarta, agar syari’at islam, Hukum Allah berdaulat, berkuasa di bumi Aceh (SIMPATI, No.6, 6 September 1998, SABILI, No.4, 11 Agustus 1999, No.5, 25 Agustus 1999). Langkah Aceh ini kemudian diikuti oleh Sulawesi Selatan.
Dengan mengembalikan Pembukaan UUD-45 seperti semula, seperti dalam Piagam jkarta, diharapkan tuntutan yang kembali di Aceh, dan dulu tahun lima puluhan juga muncul di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan lain-lain dapat diakomodir, dapat dipenuhi. Untuk mencegah disintegrasi bangsa (yang ditakutkan penguasa) seyogianya secepatnya mengembalikan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD-45 (SABILI, No.15, 10 Februari 1999).
3 Pertarungan antara Islamisasi dan Deislamisasi
Dalam WARTA BEKASI, Minggu ke-I, Juli 1999, hlm 3, Drs Nur Supriyanto, MM, Ketua DPD Partai Keadilan Kodya Bekasi mengemukakan agenda politik bersama Umat Islam yang harus seera diselesaikan. Pertama menyediakan komponen strategis dengan mengkalkulasi (memperhitungkan) seluruh unsur potensi kekuatan Umat Islam. Kedua, meletakkan dasar kebersamaan (kolektivitas dan unitas jama’ah dan jami’ah) diantara Umat islam, dengan visi politik yang dijiwai oleh semangat keterbukaan dan demokratisasi, serta yang juga menjangkau wajah perekonomian, hukum, sosial, budaya dan moralitas angsa dan negara.
Komponen politik strategis yang pewrlu disiapkan. Pertama, kesamaan visi dan persepsi politik yang akan menjadi garis kebijakan politik bersama Umat Islam. Kedua, instrumen politik (sarana dan prasarana infrastrukturnya) yang akan bekerja sebagai mesin politik Umat Islam. Ketiga, masa pendukung dengan kadar intelektual dan kesadaran politik yang memadai sebagai motor penggerak perubahan. Keempat, pemimpin umat yang bisa diterima secara kolektif oleh semua pihak. Kelima, media massa yang berpihak pada Umat Islam.
Sebagai bandingan, dapat disimak kekuatan komunitas jama’ah Umat Islam (Natio of Islam) pimpinan Elijah muhammad di kalangan Muslim Amerika (Black Moslem). Pertama, kepemimpinan karismatik, komando terpusat, loyalitas (kesetiaan dan ketaatan) tunggal. Kedua, milisi kuat terorganisir (Fruit of Islam), yang bertugas memelihara keutuhan masyarakat Islam, masjid-masjid dan lembaga-lembaga Islam. Ketiga, organisasi bisnis (bank, perusahaan, restoran). Keempat, Universitas Islam yang berdisiplin ketat. Kelima, tempat ibadah yang multi fungsi terorganisir (Drs Juhaya S Praja : Pengantar “Jihad Gaya Amerika”nya Steven Barboza, 1995:21).
Memang sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab dan Abu Bakar telah berupaya mempelopori penyamaan visi dan persepsi politik Umat Islam yang bertikai antara kelompok Anshar dan Muhajirin pada sa’at janazah Rasulullah masih terbujur. Namun kini yang menjadi persoalan, bagaimana caranya menyatukan, menyamakan visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling bertentangan itu, dan apakah memang visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling bertentangan satu sama lain dapat disatukan, disamakan ?
Meskipun hadis tentang Umat Islam akan terpecah atas 73 firqah (kelompok, golongan) diperselisihkan kesahihan sanadnya, namun nyatanya Umat Islam itu terkotak-kotak. Ada yang berorientasi pada politik, teleologi, teosofi, hukum dan seterusnya. Dalam bidang siasah ada yang beraliran Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah, dst. Dalam bidang akidah, ada yang beraliran Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Murji:ah, dst. Dalam bidang tasauf, ada yang beraliran Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syazaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, dst. Dalam bidang fiqih, ada yang beraliran Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Tsauriyah, dst.
Menurut Drs Amrullah Ahmad, dalam Khabar Forum Silaturrahmi (KFS), 20:1993:52-53, bahwa dalam bidang fikrah, pola pikir (epistemologi, metodologi), jama’ah dakwah (lapis umat) ada yang berpola pikir model thugyan (ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berpola pikir mengikuti (bermadzhab dengan) pemikiran klassik (ulama terdahulu) tanpa kritik dan olahan menjadi epistemologi falsafah sistematis Islam (dengan taqlid kepada ulama terdahulu). Ada yang berpola pikir bahwa Islam itu sebagai obyek kajian (ilmiah), bukan sebagai fikrah untuk menjelaskan realitas. Ada yang berpola pikir mengikuti model warisan Islam yang cenderung menyemaikan pemahaman al-Qur:an dengan ilmu pengetahuan dan falsafah thugyan. Ada yang berpola pikir masih/sedang dalam proses pembebasan dari model thugyan, namun belum menemukan sebuah sistim seagai falsafah sebagai model penafsir realitas.
Dalam bidang akhlak, sikap hidup (sesama Muslim dan terhadap thagut), jama’ah dakwah ada yang berakhlak relatif mengikuti etika (moral thughyan). Ada yang berakhlak keras terhadap mukmin, kasih sayang terhadap thagut (kafirin, musyrikin, munafikin, fasikin). Ada yang berakhlak sinis dan curiga terhadap mukmin yang bermaksud menerapkan al-Qur:an dan as-Sunnah, ramah-tamah dengan kafirin. Ada yang berakhlak mengutamakan kesalehan pribadi. Ada yang berakhlak di dalam lebih nampak rasional sesama mukmin, tegas terhadap thagut, tetapi sama-sama lemah-lembut atau mendukung kebijaksanaan thagut. Ada yang berakhlak nampak kuat ukhuwah sesama mereka dengan mengutamakan kesalehan dan nampak tegas terhadap thagut, namun harus berugi dalam waktu sejauh mana bersikap sabar seagai akaibat sikap hidup terhadap thagut itu, apakah mengalami reduksi dengan alasan ekonomi.
Dalam perilaku lainnya, jama’ah dakwah ada yang berprilaku sub-ordinasi sistim thugyan, sepenuhnya mengikuti sistim thughyan (rela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam serta kajian ke-Islaman dalam persepktif/metodologi dan epistemologi thugyan, dan menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan (Islam ditempatkan di bawah ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berdeakwah (sesuai dengan persepsinya terhadap Islam), menyelenggarakan ta’dib (dikhotomi epistemologi dan falsafat) untuk menggelar warisan intelektual Islam yang penekanannya menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, menyelenggarakan ta’dib (dengan kurikulum thughyan dan mata pelajaran agama Islam dengan dua model epistemologi, dikhotomik dengan sistim falsafah Islami yang masih longgar, sehingga membenarkan falsafah non-Islam atau dikhotomik fikrah), menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, cinta jihad, gemar mengadakan kajian Islam untuk memperbaiki pola pikir dalam rangka mengganti pola pikir thaghut, berusaha mandiri dalam memilih lapangan kerja sehingga dalam batas-batas tertentu tidak terserap dalam sistim thughyan (tidak ela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal), menyelenggarakan ta’dib sesuai dengan keangka imannya, berusaha menempatkan Islam, sebagai falsafah hidup yang universal dengan kebenaran yang dijamin Allah dan Rasul-Nya (rela diatur oleh Islam).
Secara umum, ada yang berupaya sungguh-sungguh menjadi Muslim utuh, kaffah, totalitas, menyeluruh, istiqamah dalam keadaan bagaimanapun, melakukan Islamisasi. Ir Haidar Baqir, Direktur Mizan, Bandung, dalam PANJI MASYARAKAT 521:35-37, menyebut tipe-tipe strategi Islamisasi. Ada yang beraliran modernis, yang memandang Islam itu hanya menyangkut soal nilai, masalah moral (ajaran etika), dan hanya menginginkan terwujudnya kultural-sosial Islam. Ada yang bealiran radikalis kompromistis-evolusioner, yang memandang Islam itu sebagai sistim alternatif, dan berupaya mengwujudkan terwujudnya struktur politik (pemerintahan) secara efektif, dengan menggunakan jalur dakwah (tarbiyah dan taklim), bersifat evolusioner dan dialogis, yang disampaikan secara bijak, edukatif, persuasif, dengan mengambil bentuk ihsan (reformasi), dan dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Ada yang beraliran radikalis-kompromistis-revolusioner, yang berupaya mengwujudkan pemerintahan Islam dengan melakukan ajakan moral, penggalangan publik-opini, aksi-sosial, dengan sikap kompromi, dengan menggunakan jalur politik (demokrasi-konstitusional), dan dilancarkan secara mendasar dan menyeluruh. Ada yang beraliran radikalis-non-kompromistis (fundamentalis-integralis-militan), yang berupaya mengwujudkan pemerintahan/negara Islam dengan menggunakan cara yang bersifat konfrontatif (hijrah dan represif) terhadap struktur politik yang berkuasa (menolak bekerjasama dengan siapa pun yang menentang perjuangan dan cita-cita Islam),, bersifat populis (gerakan massa, aksi-sosial), bahkan konfrontatif terhadap elite (malaa, mutraf, konglomerat), bersifat revolusioner, berjuang menggunakan jalur militer dengan kekuatan senjata, bukan melalui jalur politik konstitusional.
Namun di samping itu ada pula yang secara sistimatis, terarah, tertencana dan berkesinambungan berupaya meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan, memenjarakan Islam. Mengebiri, memasung, memandulkan, melumpuhkan Islam. Meredusir, mereduksi, membatasi hakikat dakwah, hakikat jihad. Menolak Islam didakwahkan sebagai acuan alternatif. Menantang hak individu dintervensi, diatur oleh Islam. Menolak Islam diterapkan secara formal. Menolak formalisasi/legalisasi ketentuan syari’at Islam ke dalam peraturan perundangan sebagai hukum positif. Melakukan labelisasi/stigmatisasi Umat Islam dengan julukan seperti sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme, dan lain-lain yang sejenis dan yang menyakitkan. Menggembar-gemborkan bahwa syari’at Islam itu hanya cocok buat bangsa biadab, barbar, primitif, seram, kejam, sadis, bengis, beringas, jorok, dekil, kumal. Melakukan kegiatan/manuver politik Deislamisasi yang cenderung sinkretis (talbis alhaq bi albathil) (Luthfi Basori : “Perkuat Keimanan Islam”, dalam “Musykilat Dalam NU”, terbitan Forum Nahdliyin Untuk Kajian Strategis).
Dengan gencar berupaya memisah-misahkan antara hakikat (yang substansial/substantif) dan syari’at (law enforcement, legal action). Hanya mengambil hakikat (esensi, semangat, nilai) dan melepaskan syari’at (syi’ar. simbol, ritual, legal-formal). Memuji-muji keagungan nilai-nilai Islam sebagai nilai yang humanis-universal, dan mencela, mencerca hukum-hukum Islam dengan sebutan sadis, kejam, biadab, primitif, tidak manusiawi. Mengarahkan perkembangan Islam hanya beraliran, berdimensi, bernuansa substantif/substansial (hakikat semata) tanpa terkait pada syari’at (legal-formal). Lebih menekankan pada aspek nilai (hakikat, teoritis-akademis) dan mengabaikan aspek simbol dan legal-formal (syari’at, praktek-aplikatif). Al-Qur:an dipahami hanya sebatas kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang terlepas dari tekstual (nash). Konsep kebersamaan, hidup berdampingan secara damai dilarutkan, dialihkan menjadi konsep kesamaan mutlak, tanpa membedakan budaya, etnis, agamaa. Kesamaan antara Muslim dan non-Muslim, antara pria dan wanita dalam segala hal, termasuk dalam kepemimpinan. Siapa saja boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanpa membeda-bedakan agamanya, jendernya. Penegakkan kesamaan antara Muslim dan non-Muslim dipandang sebagai penegakan keadilan dan egalitarianisme paripurna, kemanusiaan universal.
Hanya berupaya sebatas menegakkan nilai-nilai Islam, dan sama sekali antipati terhadap hukum Islam. Menghalangi, merintangi tegaknya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Meyakinkan bahwa dalam perspektif historis, gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang berupaya menegakkan hukum (syari’at) Islam tidak pernah mendapat simpati dari mayoritas umat Islam. Bahwa segala bentuk sikap, pandangan dan tindakan yang berlawanan dengan pluralitas kehidupan akan mendapat tantangan. Yang dijadikan patokan, ukuran kebenaran adalah hawa, publik-opini, suara terbanyak, vox populi vox Dei.
Berupaya meyakinkan bahwa perkembangan Islam substansial yang berwatak damai, toleran dan inklusif semakin kukuh, sedangkan perkembangan Islam yang berwatak ekslusif (ghurabaa) akan semakin terjepit, tidak memiliki lahan, tempat untuk tumbuh berkembang. Bahwa Islam substansial adalah yang terbaik untuk mengaktualisasikan nilai Islam ke dalam kehidupan tanpa membawa-bawa wadah panji syari’at (hukum, ritual) (Abd A’la : “Kemengangan Gus Dur. Angin Sejuk bagi Iklim Keagamaan di Indonesia”, dalam KOMPAS 22/10/1999).
Sinkretisme adalah faham yang gerakannya berupaya mempersatukan agama-agama yang ada di dunia (religious sssyncretism is the fusion of diverse religious beliefs and practics). Bentuknya yang lebih konkrit adalah Moonisme, yaitu gerakan yang didirikan oleh pendeta kaya Soon Moon dari Korea, yang menyeru ke pada fusi (peleburan) agama-agama dalam satu wadah, yang tujuannya menggantikan dasr ke-Tuhanan dengan dasar kemanusiaan (WAMY : “Gerakan Keagamaan dan Pemikiran”, 1995:384, 388). Pencetus sinkretisme Ibnu Sab’in dan Ibnu Hud at-Talmasani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang mengajak semua ummat beragama bersatu (Ibnu Taimiyah : “Al-Raddu ‘ala Al-Manthiqiyah, 1396H:282). Sinkretisme merupakan puncak toleransi beragama secara berlebihan. Semua agama baik. Toleransi beragamanya Jalaluddin Akbar (1556-1605) yang memadukan unsur-unsur dari segala agama dunia ke dalam agama baru yang disebutnya Din-Ilahi merupakan cikal bakalnya sekte Baha:i (Abul A’la Al-Maududi : “Sejarah Pembaruan Dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama”, 1984:85). Pancasila pun merupakan bentuk baru dari sinkretisme yang berupaya mempersatukan Islam, Nasionalis/sekuler, Sosialis/Komunis (NASAMARX-NASAKOM). Khams Qanun yang dimiliki Gerakan Freemansory dan Zionis internasional terdiri dari Monotheisme, Nasionalisme, Humanisme, Demokratisme, Sosialisme, yang berasal dari Syer Talmud Qaballa XI:45-46 (RISALAH, No.10, Th XXII, Januari 1985, hal 53-54 : “Plotisma, apa itu ?”, oleh Em’s). Tokoh-tokoh semacam Ir Mahmud Muhammad Thaha, Dr Hasan Hanafi, Dr Muhammad Imarah, Dr Rifa’ah at-Thahthawi cenderung sinkretis.
Memang ada solusi lain yang pernah diajukan, agar segera bangkit kembali menyusun barisan, melakukan konsolidasi. Mengadakan kontak tatap-muka (silaturrahim). Saling menyeru, memanggil, mengajak melakukan kegiatan tabligh, taushiah, dakwah tatap-muka. Saling nasehat-menasehati. Melakukan lobi secara intensif, dialog (muhasabah, mudzakarah). Saling memperhatikan. Saling bantu membantu (HUSNAYAIN 72:1999).
Tetap saja pertanyaan demi pertanyaan bergelayutan, bergelantungan. Bagaimana caranya menyamakan visi dan persepsi politik, sehingga Islam sebagai sistim alternatif bukan di bawah sub-ordinasi (sebagai pelengkap) sistim thughyan ? Bagaimana caranya memunculkan kepemimpinan umat (yang bukan hanya kepemimpinan jama’ah terbatas) ? Ataukah cukup dengan menunggu kehadiran kepemimpinan yang tepat dan menarik, seperti menunggu kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi ? Kenyataan tetap saja menunjukkan, bahwa masih saja ada yang mensahkan (legitimasi) semua hal yang berkaitan dengan sistim thughyan, memandang hina syari’at Islam, menolak politik diatur Islam. Masih saja ada yang dengan suara lantang meneriakkan bahwa Islam ya Islam, Politik ya Politik, jangan dicampuradukkan. Solusi pemecahan penyelesaian persoalan kembali kepada para pakar, para ahli. (Bks 17-7-99).
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home