Redupnya nyala api Islam
“Temukan Kembali Api Islam”. Itulah judul pidato “Amanat Presiden Sukarno pada upacara pemberian gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin jurusan Da’wah, gelar Guru Besar Kehormatan dan gelar Pendidik Agung, oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Istana Negara, Jakarta pada tanggal 2 Desember 1964”. Amanat mantan Presiden Sukarno itu hanya menstressing bahwa “segala yang kumelip di dunia ini, termasuk Negara haruslan menyembah kepada Tuhan”. (Penerbitan Khusus DEPPEN RI, No.354). Namun Sukarno sepanjang hidupnya tak pernah berupaya membawa Negara Republik Indonesia ini tunduk patuh mengikuti tuntunan Allah, Tuhan alam semesta. Padahal dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, dalam siding BPUUPKI, Sukarno mengajak agar tokoh-tokoh umat Islam bekerja keras supaya hukum-hukum yang dihasilkan Badan Perwakilan Rakyat adalah hukum-hukum Islam, supaya api Islam hidup menyala. (“Pidato Lahirnya Pantja Sila”). Namun sayang Sukarno tak pernah berpihak pada Islam.
Ameer Ali (1849-1928, India) menulis “Api Islam” (The Spirit of Islam). Namun sayang, menurut Maryam Jameela (dh Margaret Marcus), Ameer Ali dalam “Api Islam” nya hanyalah menggunakan Islam untuk membela, mempertahankan ide-ide Barat. (“Islam & Modernisme”, 1982:94).
Di mana-mana, api Islam redup. Nyalanya hanya kecil. Islam hancur berantakan. Yang tersisa hanyalah namanya saja lagi. Tak lagi bergelora, berkobar-kobar. Hal ini disebabkan oleh karena umat Islam itu sendiri tak peduli, tak hirau lagi akan Islam. Qur:an sudah meluncur lenyap, tercabut dari hati. Yang tersisa hanyalah naskahnya saja lagi. Umat Islam, hatinya sudah kosong dari iman. Hanya tersisa semangat memperindah, mempercantik bangunan fisik masjid. Akibatnya pantas ditimpa malapetaka, karena telah mengabaikan Islam, karena lebih mencintai kekayaan duniawi. (Simaklah hadits Hudzaifah bin al-Yaman tentang “Sebab-sebab, tanda-tanda kehancuran bangsa, umat”).
Seperti disinyalir oleh Rasulullah, umat Islam kini, di mana-mana bagaikan makanan yang diperbutkan oleh orang-orang lapar. Atau bagaikan buih yang terapung-apung di atas air. Meskipun kuantitasnya mayoritas, namun tak berbobot, enteng, dan dipandang remeh oleh orang. Tak ada rasa segan atau gentar di hati orang terhadap umat Islam. Hal ini disebabkan oleh karena umat Islam lebih mencintai dunia dari pada akhirat, benci dengan ajaran jihad, ogah membela dan mempertahankan Islam.
Aktivitas Jahili Sekuler
Semangat, sprit Yahudi dan Nasrani sangat tak menyukai Islam (simak antara lain ayat QS 2:120). Secara ideologi, Jahili Sekuler (faqihun fajirun, imamun ja:irun, mujtahidun jahilun) adalah sekutu Yahudi dan Nasrani dalam hal menggoyangkan, mengoncangkan keyakinan, kepercayaan, akidah umat Islam.
Jahili Sekuler berupaya membawa, menggiring, menuntun, membimbing umat Islam menjadi umat yang terbuka, inklusif, pluralis, rasional, liberal, moderat, modernis, progresif, akomodatif, pragmatis, realis, tidak tertutup, tidak ekslusif, tidak emosional, tidak konservatif, tidak orthodoks, tidak fundamentalis, tidak radikalis, tidak ideologis.
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam untuk memandang bahwa tak ada yang mutlak, absolut, qath’i, dogmatis, semuanya adalah relatif, nisbi, zhanni. Tak ada yang terlarang dikritisi, bahkan Allah, Muhammad saw, Qr:an, Hadits, Sunnah adalah objek, sarana kritik Jahili Sekuler. Sarana yang digunakan untuk mengkritisi itu adalah yang disebut dengan “Hermeneutika”. “Hermeneutic as tool of analysis”, sarana kritik terhadap kesahihan terjemahan Bibel dig unakan untuk mengkritisi naskah Qur: an.
Jahili Sekuler berupaya membawa mat Islam menjadi umat yang ragu-ragu. Ragu-ragu terhadap Allah, Muhammad saw, Qur:an, Hadits, Hukum-Hukum yang sudah qath’i (mantap). Menjadi umat yang ghullah, berlebih-lebihan, over kritis, over ilmiah, over rasional.
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam agar memandang bahwa kebenaran mutlak itu hanya pada Allah, pada Yang Maha Mutlak, sedangkan kebenaran pada manusia hanyalah kebenaran nisbi. Meragukan, tak meyakini kebenaran yang sudah qath’i. Setelah akidah berantakan, maka akhirnya ibadah juga diragukan.
Jahili Sekuler secara sistimatis, terarah, terencana, berkesinambungan berupaya membawa umat Islam menjadi umat yang pluralis, ekslusif, terbuka. Masjid terbuka bagi siapa saja. Pos zakat terbuka bagi siapa saja. Perkawinan tak memandang etnis, kepercayaan, agama, jenis kelamin. Syari’at Islam tak boleh diterapkan secara formal. Hak individu tak boleh diatur oleh Islam. Islam tak boleh dijadikan sebagai acuan alternatif. Hakikat dakwah, hakikat jihad harus diredusir, direduksi, diplintir, dimanipulasi. Termasuk predikat, sebutan mujahid, syuhada. Landasan kebenaran hanyalah rasio, hawa (simak ayat QS 45:23-24), bukan berdasar nash.
Katakalanh kepada Ahli Kitab (juga kepada sekutu-sekutunya) : “Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara tak benar” (simak QS 4:171, 5:77).
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam ini bukan “ar-ruju’ ila alQur:an wa asSunnah”, bahkan malah jauh dari pimpinan Qur:an dan Sunnah, jauh dari ma’ruf, dekat dengan fahsya dan munkar (pornografi, pornoaksi, hedonis, permisif) tak lagi punya malu. “Mereka (kaum nabi Luth) berkata : … sesungguhnya kamu (hai Luth) tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki (berbuat hubungan sejenis” (QS 11:79). “Mereka (yang mempertuhankan nafsu) berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja” (QS 45:24).
Dari IAIN Yogyakarta muncul buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” yang memuat kata-kata berikut : “ … apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus isteri? … Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meskipun dilakukan dengan satu atau banyak orang” (SUARA MUSLIM, Edisi Agustus 2008, hal 18, “Kirisis Dalam Kehidupan Beragama Islam di Indonesia : Krisis Syari’at”). Terhadap yang sudah tak lagi punya rasa malu, Islam hanya bisa mengucapkan : “Berbuatlah sesukamu”.
Jahili sekuler sangat gigih menanamkan pola pikir dan perilaku bahwa professionalisme tak terkait dengan moralitas. Aktivitas budaya tak terkait dengan norma-norma moral. Aktivitas sosial tak terkait dengan norma-norma moral. aktivitas bisnis tak terkait dengan norma-norma moral. Aktivitas politik tak terkait dengan norma-norma moral. Semuanya serba boleh. Manusia lebih didominasi oleh panggilan, bisikan, godaan setan.
Hermaneutika sangat berperan menyimpangkan pengertian ayat-ayat Qur:an, menciptakan newspeak (pengertian baru yang sesat menyesatkan) tentang ayat-ayat Qur:an, menciptakan fallacy (kekeliruan yang disengaja), mengarang-ngarang kebohongan (iftara), sehingga “jalan dialih orang lalu”, kata orang Minang. (tasykik-tasywib-tadzwib-taghrib)
Jahili Sekuler memandang alQur:an sebagai hasil proses kreatif kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia, sebagai produk budaya, sebagai teks linguistik. Dipertanyakan apakah yang berpikiran asing seperti ini masih layak menyandang predikat Muslim yang bertuhankan Allah, berasulkan Muhammad, berimamkan alQur:an” ?
Di KORAN TEMPO (4/5/2007), Muhammad Guntur Romli, aktivis Jaringan Liberal Islam menulis opini berjudul “Pewahyuan Al-Qur:an : Antara Budaya dan Sejarah”. Dalam penutupnya, Guntur menyimpulkan : “AlQur:an tetap memiliki banyak sumber dan “proses kreatif” yang bertahan serta berlapis-lapis. AlQur:an adalah “suntingan” dari “kitab-kitab” sebelumnya, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntignya. AlQur:an tidak bisa menlintasi konteks dan sejarah, karena ia adalah wahyu budaya dan sejarah”. Bertolak dari kata “awhayna” (Kami wahyukan), Guntur menyatakan bahwa proses turunnya alQur:an melibatkan kerja kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia (Majalah TABLIGH, Vol.05/N0.04/2007, hal 38, “Dusta Teolog Krislam”).
Nasr Hamid Abu Zaid (kelahiran Kairo 1945), Professor Studi Islam dan Bahasa Arab menyebut alQur:an sebagai produk budaya dan sebagai teks linguistik, sementara Islam sebagai agama Arab (RAKYAT MERDEKA, Sabtu, Mei 2006, hal 2, “Tuduhan Berlapis Untuk Abu Zaid”, Memoar Jeffri Geovanie). Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Islam sebagai wahyu adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi pemahaman Islam, sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi. Karya-karya ulama terdahulu sangat situsional, hanya sesuai dan cocok untuk zamannya (Majalah TABLGH, Vol.03/No.02/Septeber 2004, hal 39, “Intelektual Jahil Berbahaya” dari hidayatullah.com, Adian Husani MA).
Hampir seluruh masalah kehidupan sudah dibahas, dianalisa, dirumuskan, ditunjukkan pemecahanya oleh ulama-ulama besar terdahulu. Hanya sedikit sekali yang belum dibahas mereka. Ini menjadi tugas orang-orang semacam Nasr Hamid Abu Zaid pada masa ini dan masa nanti. Di antara yang sudah dibahas mereka, ada yang sudah disepakati, sudah ijma’ di antara mereka dan ada pula yang masih diperselisihi, ikhtilaf di antara mereka. Yang sudah disepakati di antara mereka tak perlu lagi di otak atik, tinggal terima saja. Sedangkan yang masih diperselishi di antara mereka, silakan ambil yang dipadang lebih kuat alasannya, tinggal pilih saja. Yang masih belum dibahas oleh mereka, dapat saja dipulangkan, dikiaskan, dianalogikan kepada yang telah mereka bahas.
Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (taqlid, ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kembalilkan Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).
Jahili Sekuler mengajari agar bersikap, berfikir objektif-realistis. Nasehat ini sangat layak bagi yang berhubungan dengan masalah mikro. Namun terhadap masalah makro, barangkali perlu dicermati kembali. Apalagi terhadap yang berhubungan dengan gagasan. Yang berhubungan dengan gagasan biasanya bersifat subjektif-idealis. Karenanya tak peduli dengan sikon apakah objektif-realistis. Tak peduli apakah sesuai ataukah melawan arus.
“Dan mereka (yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya) berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia aja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa …”. (QS 45:24, simak juga “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:117-121).
Jahili Sekuler juga mengajari bahwa tolok ukur kebenaran itu adalah penilaian publik, pendapat umum, tradisi, adat kebiasaan turun temurun, sesuai arus. Tetapi Islam mengajarkan bahwa acuan tolok ukur kebenaran itu adalah ajaran Qur:an dan penjelasannya dalam Hadits yang diterangkan, ditafsirkan oleh ulama yang saleh, yang tawaduk.
“Apabila dikatakan kepada mereka : Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab : Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannnya”. (QS 5:104), simak juga QS 2:170, 31:21, simak pula Muhmmad bin Abdul Wahhab : “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:33-36)
Jahili sekuler juga mengajari bahwa professionalisme itu tak terkait dengan moralitas. Begitu pula kebebasan itu tak terkait dengan moralitas, norma-norma moral, etika. Sebaliknya Islam mengajarkan bahwa professionalisme, kebebasan itu terkait dengan moralitas, norma-norma moral, etika, hanya dalam dalam hal-hal yang makruf, yang sopan, yang beradab, yang bermoral, yang beretika.
Untuk menghadapi sikon seperti itu, Abubakar Siddiq ra memberikan petunjuk agar : Menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan jama’ah. Banyak-banyak menemukan petunjuk dari Qur:an. Memelihara persatuan umat. (“Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, hdits no.1211, “Fiqhud Da’wah” M Natsir, 1981:88).
flwg fm REPUBLIKA
qte
Jumat, 28 November 2008 pukul 09:06:00
Sekularisme Sebagai Racun Pemikiran
Erdy Nasrul
Peneliti Centre for Islamic and Occidental Studies
Suatu hari KH Ali Mustofa Yaqub ditanya wartawan al-Jazirah tentang jamaah Masjid Istiqlal yang afiliasi politiknya berbeda. Beliau menjawab: ''Saat masuk masjid, mereka melepas baju politiknya. Hanya baju sebagai hamba Allah saja dipakai. Tapi, ketika keluar masjid baju politiknya kembali dipakai. Akhirnya, berbeda-beda lagi''.
Maksudnya, agama dan politik terpisah bagai bumi dan langit. Begitulah sekularisme. Bukan dari Islam paham ini muncul. Baratlah biang keroknya. Kekecewaan Barat terhadap Kristen membuat Nietzche berkoar-koar tentang kematian Tuhan.
Dalam pandangan yang lebih moderat, Tuhan cukup diposisikan di gereja, tidak lebih. Wajarlah bila Harvey Cox dalam the Secular City memandang sekularisasi sebagai keniscayaan hidup. Akibatnya fatal sekali. Ekonomi, budaya, dan politik berseteru dengan agama.
Proses sekularisasi
Berhubung agama sudah termarginalkan, nilai-nilai kehidupan tidak lagi agamis. Dunia tidak mengenal syariat. Alam dipandang secara biologis semata. Kejanggalan ini akibat deconsecration of value. Nilai sosial adalah karya cipta manusia sendiri. Asasnya omong kosong protagoras man is the measure of everything.
Karena manusia penentunya, dunia semakin tidak terarah. Kesatuan alam rohani dan jasmani dianggap bohong. Pandangan spiritual tentang alam menjadi omong kosong. Yang ada hanya alam yang berjalan secara jasmani saja. Max Weber (1864-1920) menyebutnya dengan disenchantment of nature. Akibat paham ini, manusia ibarat robot: berkulit tapi berdaging kabel. Jean François Lyotard menyebutnya inhumanity.
Karena nilai tidak diambil dari agama, kemudian alam tidak lagi sakral, manusia berjalan tanpa arah. Bersiyasat tanpa peduli moral. Tidak ada lagi politik agamis atau dikenal dengan desacralization of politic. Yang terjadi adalah lapar kekuasaan dan haus jabatan. Asasnya adalah will to power kata Nietzche. Alfred Adler menambahkan bahwa tujuannya striving for superiority. Manusia tidak lagi merendah, tapi terus angkuh seperti Fir’aun yang terlaknat (QS al-Anfal: 54).
Semua proses tersebut mengarah kepada sekularisasi. Patokannya ada pada waktu terkini dan pada tempat tertentu saja. Yang lalu dimuseumkan, diganti dengan kekinian.Tempat juga menjadi acuan berlakunya kebijakan. Aceh menerapkan syariat. Kota lain tidak. Nuklir Iran dianggap membahayakan dunia, sedangkan nuklir Israel dianggap sumber kedamaian meski untuk menjagal umat Islam.
Semua jadi rancu. Kebenaran dan kesalahan saling tukar tempat. Tabiat manusia tidak lagi mengakui perkataan Ibnu Khaldun, manusia sebagai makhluk sosial. Mereka lebih percaya teori kepentingan politik Habermas atau teori kuasa Foucault.
Kesenjangan ekonomi
Keterpisahan ekonomi dengan agama terlihat dalam sikap terhadap produk dan konsumen. Seharusnya tidak sembarang produk dapat dijual atau dibeli. Halal atau haramnya suatu produk menentukan sah tidaknya jual beli. Perlakuan konsumen akan baik jika bermodal besar. Bagi yang tidak silakan angkat kaki.
Karena sekuler, minuman keras dan psikotropika mudah ditemukan. Perlakuan konsumen tidak tertuju kepada mereka yang membutuhkan, tapi yang bermodal. Untung selangitlah yang dikejar, sedangkan kesejahteraan sosial termarginal. Beras dikonsumsi pemodal, bukan orang tak bertempat tinggal. Prinsipnya modal kecil, untung besar.
Cara meraih keuntungan ini yang bermasalah. Seharusnya tak sekadar mengais keuntungan, tapi juga membantu orang tidak mampu. Jika ini dilakukan maka bukan keuntungan dunia saja (QS Albaqarah: 261), tapi juga akhirat akan diraih, yaitu kesucian jiwa (QS Al-Taubah: 103). Sayangnya, ekonomi sekuler miskin kepedulian sosial. Alhasil, 379,6 ribu jiwa penduduk Jakarta tidak sejahtera meski roda perputaran perekonomian sangat kencang.
Carut-marut budaya
Karena tidak sejahtera, profesi apa pun dilakoni. Bekerja sebagai WTS dinikmati karena untuk mengurangi impitan ekonomi. Yang lebih mengenaskan lagi mereka tidak merasa berdosa. Akibat tidak merasa berdosa akhirnya tidak mampu mencegah kemungkaran budaya. Zina tidak apa-apa. Meskipun sudah disahkan, UU Antipornografi dipandang sebelah mata. Semua terjadi karena agama bukan lagi arah kehidupan.
Masalahnya, bukan budaya berasal dari agama. Sebaliknya, agama berasal dari budaya. Agama bisa diubah seenaknya, sesuai tren budaya sekarang. Manusia semakin besar kepala karena Ludwigh Feurbach memandang manusia adalah Tuhan dan begitu sebaliknya.
Karena manusia sendiri yang memutuskan, akhirnya free sex tidak masalah. Rujukannya kebebasan seksual pada zaman Yunani dan Romawi. Manusia dan binatang tidak berbeda karena berhubungan badan di mana saja. Tidak heran bila akhirnya kedua peradaban itu binasa.
Keganasan politik
Kesamaan dengan binatang juga terjadi di politik. Sesama politikus saling sikut, berebut kekuasaan. Joseph Stalin dan Nikita Kruschev saling sikut demi kursi kekuasaan Soviet. Begitu juga dengan Obama dan McCain saat menghadapi pemilihan presiden.
Bukan hanya pada pemilihan politik sekuler bermasalah, dalam menjalankan pemerintahan pun begitu. Selalu ikut campur dalam mengatur kebijakan negara lain, seperti yang dilakukan Amerika terhadap Palestina dan Israel. Politik sekuler tidak memiliki kriteria pemimpin bangsa. Dalam demokrasi sekuler, presiden bisa hanya tamat SMA. Jauh berbeda dengan politik Islam.
Al-Farabi berpendapat pemimpin negara harus mampu berkomunikasi batin dengan Tuhan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Ibnu Taimiyyah mensyaratkan kepercayaan. Pemimpin harus bisa menjaga kepercayaan rakyatnya. Jajaran pembantu kepemimpinannya pun harus orang-orang potensial, bukan pembawa sial.
Inti seorang pemimpin adalah ilmu. Pemimpin yang sesungguhnya pasti berilmu dan tidak sekuler. Hanya dengan ilmu roda pemerintahan berputar sesuai dengan porosnya. Jika pemimpin sekuler, maka dia hanya pemimpin keduniaan. Hitler contohnya.
Dia tidak segan-segan membunuh manusia. Kalaupun ada pemimpin sekuler yang baik pasti tidak lama. John F Kennedy, misalnya, tewas tertembak di Dallas tahun 1963. Hanya tiga tahun dia memerintah Amerika.Berbagai hal yang berbau sekuler pasti menuju ketidakpastian. Arnold A Loen membuktikan hal itu. Pengetahuan–pengetahuan sekuler terus berubah menuju arah yang tidak jelas.
Islam dan sekularisme
Sekularisme kental dengan miliu Barat yang bertentangan dengan Islam. Amat salah jika Abdullahi Ahmed al-Naim mengatakan sekularisme dalam Islam adalah keniscayaan. Dalam Islam, ilmu dengan agama selaras.
Kata '>ilm tidak bisa diterjemahkan 'ilmaniyah yang berarti sekuler. Selama Allah menjadi sumber ilmu, tidaklah mungkin orang berilmu itu sekuler. Berilmu tak sekadar menguasai ilmu-ilmu teknis, tapi menghayati dan memahami ilmu-ilmu keagamaan.
Dengan ilmu tersebutlah manusia akan tunduk kepada Tuhan, mengitari Ka'bah layaknya malaikat berputar mengelilingi 'Arsy (QS al-Zumar: 75). Syed Muhammad Naquib Al-Attas menambahkan, kalaupun sekuler berarti keduniaan, dia tetap tidak bisa disandingkan dengan kata dunya yang asal katanya dana.
Ini karena menurutnya kata tersebut berdekatan dengan kata din yang berarti agama. Meskipun tidak sesuai masih dipaksakan oleh al-Na'im dan pemikir liberal lainnya. Kepentingannya untuk menyerang Islam. Meskipun diserang, Islam gigih menghadang Barat, begitu komentar Edward Said dalam bukunya Orientalism. Tujuan serangan pemikiran itu untuk memecah belah umat agar tidak berjamaah dalam hidup, sebagaimana shalat berjamaah di Istiqlal, seperti diceritakan KH Ali Mustofa Yaqub di atas.
Ikhtisar:
- Sekularisme cenderung menghalalkan segala cara.
- Selama Allah menjadi sumber ilmu, tidaklah mungkin orang berilmu itu sekuler.
- Ilmu harus berfungsi untuk makin mendekatkan diri dengan Allah.
unqte
(BKS0810211100)
(Catatan Asrir, Tenggiri-12/204, Bekasi Selatan 17144, Tilpon 8868721)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home