Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Monday, November 10, 2008

Masa Depan Islam
Eropah seagai sumber kekuasaan politik telah menjadi kering, tetapi seagai sumber nilai-nilai yang memberi ilham, ia terus mencucurkan dirinya. Jalan pikiran, pendirian ini menurut hemat Prof Dr R F Berling masih terlampau sederhana ("Pertumbuhan Dunia Modern", Djilid I, Pustaka Rakjat, Djakarta, hal 15). Oswald Spengler (1880-1936), filsuf tentang sejarah dan kebudayaan,bangsa jerman, mengarang "Der Untergang des Abendlandes" (Kebinasaan Negeri Senja, 1918-1922) (idem, hal 16, Muhammad Iqbal : "Pembangunan kembali Alam Pikiran Islam", Bulan Bintang, jakarta 1983:159). Bertrand Russel, ahli filsafat Inggeris mengatakan "Masa berkuasanya bangsa kulit putih sudah berakhir dan utuhnya kekuasaan itu sampai ke akhir zaman, tidaklah termasuk dalam fasal-fasal hukum alam. Saya yakin bahwa bangsa kulit putih tidak akan menemukan lagi zaman kejayaan seperti yang telah diperolehnya sepanjang empat abad yang lalu" (Sayyid Quthub : "Masyarakat Islam", alma'arif, Bandung, 1983:15, dari harian AL-AHRAM 9-8-51). Dunia Barat sekarang tidak mempunyai "nilai" apa-apa lagi yang dapat disumbangkannya akepada umat manusia. Peran sistim Barat telah berakhir. Ia tidak mempunyai simpanan "nilai" lagi yang mengidzinkannya untuk memimpin dunia. Demokrasi telah sampai pada tahap yang menyerupai kegagalan. Sosialisme telah mengalami kemunduran. Patriotisme dan nasionalisme telah selesai memainkan peranannya. Sistim individualistis dan sistim kolektif pada akhirnya telah gagal (Sayyid Quthub : "Petunjukg Jalan", alMa'arif, Bandung, hal 3-5). Negara Kristen telah pernah secara sama-sama membentuk Negara dengan faham Utopis, akan tetapi ia tidak pernah memberikan contoh suatu Negara Utopis yang sempurna yang dapat dijadikan sebagai dasar pembangunan Negara. Begitu pula Revolusi Perancis telah pernah memberikan sepercik cahaya tentang Negara Utopis, akan tetapi kemudian lenyap ditelan fham kebangsaan. Begitu pula komunisme telah menghembuskan seruan kepada dasar Negara utopis di permulaan lahirnya faham ini. Akan tetapi ternyata akar pembuluh yang mengaliri urat nadi faham ini tumbuh atas dasar kebangsaan (nasionalisme) yang terkutuk juga (Abul A'la almaududi : "Metoda Revolusi Islam", arRisalah, Yogyakarta, 1983:20). Agama Yahudi jadi mengkerut dan terbatas pada putera bangsa itu sendiri yang ditimpa kebencian yang mendalam terhadap bangsa-bangsa lain yang mereka sebut bangsa bodoh atau kelas kambing, mereka kelewat membanggakan diri sebagai umat Tuhan yang pilihan. Adapun agama Nasrani, tugas utamanya sebenarnya ialah menuntun jiwa, sementara ajaran-ajarannya yang asli tidaklah memuat hukum-hukum sosial dan politik (Ahmad Zaki Yamani : "Syari'at Islam Yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini", alMa'arif, Bandung, 1986:18-19). Kini datang giliran Islam sebagai pimpinan umat manusia yang baru. Islam memiliki sesuatu yang amat berharga untuk memimpin umat manusia yang tidak dimiliki oleh Barat maupun Timur. Islam memiliki akidah, kepercayaan, keyakinan, paham, isme, ideologi yang unik, yaitu keyakinan, bahwa tiada Tuhan selain Allah. Tiada penguasa, kecuali allah. Tiada pembuat hukum, kecuali Allah ("Metoda Revolusi Islam", 1983:64, "Petunjuk jalan", hal 25). Agar Islam dapat memainkan peranannya sebagai pimpinan umat manusia yang baru, maka haruslah terlebih dahulu terwujud masyarakat Islami, masyarakat Tauhid, masyarakat Qur:ani, masyarakat Marhamah, masyarakat IMTAQ. Untuk itu haruslah didik dan dicetak dulu tenaga-tenaga terampil untuk memegang jabatan pemerintahan, kemudian barulah didirikan daulah yang sesuaia dengan kemauan, tuntutan Islam ("Metoda Revolusi Islam", 1983:34). Haruslah berupaya menyebarkan informasi (dakwah) agar tercipta iklim/sikon yang memungkinkan lahirnya sejarahwan, filsuf, fisikawan, ekonom, politikus, negarawan, ilmuwan, dan ahli-ahlui lain yang komit terhadap Islam. Masyrakat Islami adalah masyarakat yang mau diatur oleh hukum Allah, Tuhan YME. Masyarakat Islami adalah masyarakat yang kehidupannya, konsepsinya, situasinya, sistimnya, nilainya dan seluruh pertimbangannya bersumber dari metode/manhaj Islam ("Petunjuk Jalan", hal 8). Masyarakat islami adalah masyarakat yang intinya (kern-nya) terdiri dari orang-orang Islam yang tangguh, yang hidup matinya lillahi rabbil 'alamin, dan plasmanya segenap orang, tanpa membedakan asal, suku, agamanya yang bersedia melakukan yang baik dan tidak melakukan yang jahat, serta siap sedia secara bersama-sama menindak yang melakukan tindak kejahatan, dan menyelesaikan sengketa menurut hukum allah, mau diatur dengan hukum Allah (idem, hal 100-101, Sayyid Quthub : "Masyarakat Islam"" alMa''rif, Bandung, 1983). Masyarakat Islami adalah masyarakat yang melaksanakan Islam secara akidah dan ibadah, secarasyari''t dan sistim, secara budi pekerti dan tingkah laku ("Petunjuk jalan"" hal 122). Masyarakat Islami adalah masyarakat IMTAQ, yaitu masyarakat yang beriman kepada Allah serta tunduk patuh dan ta'at kepada Allah, masyarakat Tauhid, masyarakat yang setia berTuhankan Allah, beragamakan Islam, bernabikan Muhammad saw, berkitabkan Qur:an, yang mau diatur oleh hukum Allah. Bertentangan dengan masyarakat Islami itu adalah masyarakat jahili. Dalam pemikiran, pandangan Sayyid Quthub, masyarakat jahili itu adalah masyarakat yang menolak berhukum pada hukum Allah, yang tidak mau diatur dengan aturan Allah, yang berpendapat bahwa manusia itulah yang berkuasa, yang berdualat, yang memiliki kedaulatan, yang sumber pandangan hidupnya dan sistimnya mengacu pada yang lain dari Islam ("Petunjuk Jalan", hal 8). Masyarakat jahili di Barat (Kapitalis) mempertuhankan Produktivitas, Harta kekayaan, Kenikmatan/kemewahan (comfort). Masyarakat jahili di Timur (Komunis) mempertuhankan Alat produksi, Ekonomi, marx-Engel ("Masyarakat Islam", 1983:10, "pwetunjuk jalan", hal 103-108). Muhammad bin Abdul Wahhab menguraikan seratus macam karakteristik pola hidup masyarakat jahili dalam bukunya "karakteristik Perihidup Jahiliyah Yang Ditentang Rasulullah saw" (terbitan Bina Ilmu, surabaya, 1985, terjemahan As'ad Yasin). Jahili itu adalah yang tak logis, yang tak rasionil, yang tak masuk akal (berpikir bengkok). Sedangkan yang bukan jahili adalah yang logis, yang rasionil, yang masuk akal (berpilkir lurus). Jahili itu adalah sikap tak mau berpkir logis/rasionil. Dengan mau berpikir logis/rasionil, maka manusia dapat membedakan antara yang baik (makruf) dan yang buruk (munkar). Islam itu datang agar manusia itu mau berpikir logis/rasionil. Berbeda dengan Sayyid Quthub, maka dalam pemikiran, pandangan Dr Yusuf Qardhawi, masyarakat jahili itu adalah masyarakat sebagaimana masyarakat makkah pada awal mula dakwah Islam, masyarakat yang benar-benar kafir penyembah berhala, tidak berman bahwa Tida Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah (PANJI MASYARAKAT, No.541, hal 10, Forum pendapat : Benarkah Masyarakat Kita Jahiliyah, oleh Moh Thoha Anwar). Perbedaan pemikiran dan pandangan ini karena perbedaan latar belakang pendidikan dan pengalaman serta sikon dan sudut peninjauan. Sayyid Quthub menggunakan pendekatan filsafat, kultural, politik. Sedangkan Yusuf Qardhawi menggunakan pendekatan fiqih. Untuk menyusun, menata masyarakat Islami, dan sekaligus untuk menghadapi tantangan zaman, bisa dilakukan dengan rekodifkasi Syari'at islam dalam pengertiannya yang sempit, yang mengandung hukum-hukum yang tegas (qath'I) yang tak dapat digugat lagi, yang berasal dari alQur:anul karim dan Sunnah yang shahih, yang merupakan prinsip-prinsip tetap, kaedah-kaedah umum. Atau bisa pula dilakukan dengan rekondifikasi (kompilasi) Syari''t islam dalam pengertiannya yang luas (yang biasa disebut dengan Fiqih islam) yang tersebar dalam perbendaharaan khazanah Fiqih islam, yang berisifat zhanni (ijtihadi), yang diambil dari Qur:an atau sunnah, atau dari sumber lain, seperti ijma' (konsensus), qiyas (analogi), istiohsan, istishhab, mashalih-mursalah (kepentingan umum) ("Masyarakat Islam", 1983:35-46, "Syari'at islam Yang Abadi …", 1986:32-43, ALMUS:LIMUN, No.203, hal 48-51, Akadem,I Hukum, oleh Abul A'la alMaududi, PANJI MASYARAKT, No.541, hal 10). Perlu ada Fiqih Global, Fiqih Kontekstual, Kompilasi Fiqih, Akademi Fiqih, LIPI Fiqih. Fiqih Islam itu terdiri dari Fiqih Ibadah dan Fiqih Muamah. Fiqih Ibadah bersifat tetap dan stabil, tak terpengaruh oleh perubahan zamah. Sedangkan Fiqih Muamalah berubah, berkembang mengikuti perubahan keperluan hidup manusia, perubahan sikon ("Masyarakat Islam", 1983:38-39). Perubahan itu bisa saja dengan menggunakan sarana usul Fiqih semacam qiyas (analogi), istihsan, mashalih-mursalah (kepentingan umum) ("Syari'at Islam Yang Abadi …", 1986:39). Syari'at : Iman, Akidah, Prinsip, Proyektum. Fiqih : Amal, Ibadah, Sistim, Proyeksi. Meskipun Sayid Quthub memahami masyarakat jahili itu dengan menggunakan pendekatan filsafat, kultural, politik, namun ia juga menaruh perhatian besar pada hubungan antara Syari'at islam dan Fiqih Islam. Syari'at islam dalam pandangan Sayyid Quthub tidaklah identik dengan Fiqih Islam. Syari'at islam adalah keseluruhan Hukum yang tetap, tidak berubah-ubah, karena dialah prinsip umum yang fundamentil bagi agama yang lurus dan yang diridhai Allah untuk pimpinan hidup umat manusia. Sesuai dengan latar belakangnya, yusuf Qardhawi memandang bahwa kebutuhan akan fiqih sangat mendesak di kalangan umat islam dewasa ini (PANJI MASYARAKAT, No.541, hal 10). Sedangkan Sayyid Quthub, sesuai pula dengan latar belakangnya, memandang bahwa yang harus dilakukan adalah kembali secara langssung kepada Syari'at Islam, kepada prinsip-prinsip yang umum dan hukumnya yang global, lalu mencari inspirasi dengan menggali dan menghayatinya untuk menemukan pemecahan cara penerapannya guna mengahdapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi sekarang ini ("Masyarakat Islam", 1983:45).

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home