Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Saturday, January 02, 2010

Gus Dur di Mata Media

From: apakabar@saltmine.radix.net
Date: Sat Oct 28 2000 - 14:18:15 EDT


Gus Dur dalam media

1 Gus Dur sangat konsisten (istiqamah) pada
pemikirannya sebelum menjadi Presiden. Baginya agama
tidak boleh dikaitkan dengan urusan negara. Agama
diposisikannya sebagai sesuatu yang individual
(bersifat pribadi), moral dan semata-mata ritual.
Agama hanya berperan sebagai suatu nilai etika (moral,
akhlak), bukan sebagai aturan praktis (syari’at
Islam). Ia memperjuangkan tegaknya (nilai) Islam yang
tidak memberlakukan hukum Islam dalam negara.
Pada pertengahan 1982, Gus Dur menyeru untuk tidak
usah membela Tuhan. Tuhan Tidak Perlu Dibela (M
Musthafa, KOMPAS Minggu 1999 : ‘Untuk Siapa Agama
Sebenarnya ?’).

2 Baru saja jadi Presiden, Gus Dur mengecam Departemen
Agama sebagai tempat dagang agama. Secara reaktif
mengecam keinginan jihad dari umat Islam. Secara
konsisten tidak membiarkan berkembangnya kelompok
Islam yang ingin menegakkan syari’at Islam (Farid
Wadjdi S.IP, REPUBLIKA, Rabu, 16 Fewbruari 2000,
hlm6).

3 Jauh sebelum jadi Presiden, Gus Dur menolak konsep
negara Islam. Sejak lama ia mengemukakan bahwa Islam
tidak berfungsi ideologi di kalangan mayoritas kaum
Muslimin. Bahwa wilayah kehidupan suatu agama
amemiliki otonominya sendiri. Bahwa Islam secara
historis belum merumuskan tentang negara Islam. Bahwa
dari sudut historis, tuntutan harus adanya negara
Islam, rapuh sekali. Bahwa dari sudut pemikiran agung
tentang keharusan adanya negara Islam. Bahwa Ibnu
Khaldun berpendapat, bahwa unsur yang membentuk
masyrakat bukanlah agama, melainkan ikatan kebersamaan
atau kebangsaan (Rosihan Anwar, PANJI MASYARAKAT,
No.528, 21 Januari 1987, hlm 73).

4 Pandangan Gus Dur sejalan dengan aturan main
ideologi kapitalis yang memisahkan agama dari
kehidupan bangsa, bernegara. Sistem kehidupan yang
didasarkan pada pemisahan agama dan negara adalah
sistem kapitalis sekuler. Kebijakan negara kapitalis
sekuler berdasarkan antara lain pada demokrasi, HAM,
pluralisme, ekonomi kapitalistik (pasar bebas,
investasi asing, utang). Atas nama demokrasi (suara
terbanyak), maka kerusakan moral (korupsi, kebebasan
seksual, minuman keras, dll), tindak kejahatan
dilegalisir. Atas nama kebebasan, maka ateis, kumpul
kebo, homo, lesbi dinyatakan sah. Asas Mashalih
Mursalah (al-muhafazhah ‘ala al-qadiim al-shalih wa
al-akhzdu bi al-jadid al-ashlah) diselewengkan menjadi
kemashlahatan (kemanfa’atan) yang semata-mata
memuaskan kenikmatan nafsu hewani (Farid Wadjdi :
Idem). Atas nama demokrasi dan HAM, negara
kapitalistik-sekuler kaya mengendalikan politik dan
ekonomi negara miskin sebagai sarapan empuknya untuk
kepentingannya, bahkan menyerang negara yang
dinilainya melanggar aturan main internasional
(KOMPAS, Rabu, 16 Februari 2000, hlm 3, Paladin).

5 REPUBLIKA 24 Maret 2000 (hlm 2) memberitakan tentang
pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid bahwa Masjsid
Istiqlal harusnya bisa dikelola semua orang (semua
agama) yang dinilai para ulama tidaklah benar.
Sebelumnya SABILI 22 Maret 2000 (hlm 14) memberitakan
tentang rentetan ketidaksenangan, ketidaksukaan Gus
yang kini menjadi Presiden RI terhadap gerakan Islam,
apalagi yang menurut persepsinya fundamentalis, dan
berkali-kali menyodorkan proyek-proyek yang membuat
gemas dan gerah para aktivis gerakan Islam.

6 Gus Dur gigih berupaya menjalin hubungan mesra
dengan Zionis Israel. Ia terpilih menjadi anggota
Institut Shimon Peres yang berpusat di Israel, dan
ketika itu lebih sering terlihat di Israel (8 kali
bolak balik ke Israel bersama LB Moerdani) katimbang
ke Mekkah. Atas desakan wakil Uskup di Australia dan
sejumlah Rabbi Yahudi dari Barat, ia menjadi presiden
ICRp (International Conference Religion on Peace) yang
berpusat di Roma. Di samping menjadi anggota utama
IIAC (International Interreligious Advisory Committee)
ia juga menduduki jabatan “presiden” WCRP (The World
Council on Religion and Peace) yang berkedudukan di
New York, USA. WCRP di Oslo, Norwegia melahirkan
“United Nations Declaration on the Elimination of All
Forms on Intolerance and of Discrimination Based on
Religion or Belief”.

7 Gus Dur begitu gigh berupaya membuka kembali lahan
bagi paham komunisme. Ketika melanjutkan studi di Irak
(Fakultas Adab, Baghdad, 1970), ia lebih banyak
berhubungan dengan partai Ba’aths. Partai ini sangat
dipengaruhi oleh ide Sosialisme dan Marxis dan
berpegang pada ide sekuler yang melemparkan agama
jauh-jauh.Pendirinya adalah Mikhael Aflaq, seorang
Kristen Ortodok (Maronit) yang punya komitmen kuat
kepada Gereja Timur. Menurut Khalid Mawardi, mantan
Dubes Indonesia di Syria, Abdurrahman Wahid bukan saja
tertarik pada partai ini, melainkan ia bahkan menjadi
anggota inti (core).

8 Kendati masa kanak-kanaknya hidup di lingkungan
pesantren, Gus Dur tidak begitu antusias mempelajari
agama, karena itu ia setelah SD (awaliyah, ibtidaiyah)
ia melanjutkan sekolah lanjutan pertama di SMEP (di
Yogyakarta, 1956). Guru privat bahasa Inggerisnya
adalah seorang tokoh GERWANI (Gerakan Wanita
Indonesia, sebuah organisasi maantel PKI, Partai
Komunis Indonesia). Pada waktu menjadi murid SMEP ia
sudah hapal sejumlah pidato Stalin dalam bahasa
Inggeris. Di majalah TEMPO (1987) ia pernah menulis
sebuah artikel yang salah satu isinya menyatakan,
semenjak bersentuhan dengan Marxisme pandangannya
terhadapa agama (Islam) mengalami perubahan.

9 Gus Dur begitu geram terhadap gerakan Islam yang
menurut persepsinya fundamentalis. Gus Dur begitu
geram terhadap ayat 120 surah Baqarah. Gus Dur begitu
gigh mencari restu dan dukungan dari luar negeri.
Sampai-sampai berupaya mendapatkan penasehat dari luar
negeri dan berupaya mengimpor hakim luar negeri. “Dari
dulu Gus Dur tidak bersahabat dengan kepentingan
Islam. Namun kepada non-Islam yang minoritas dia
sangat bersahabat, bahkan memperhatikan mereka secara
berlebihan” papar Eggi Sudjani. “Struktur idiologi Gus
Dur sejak dulu memang anti Islam. Dika tidak simpati
terhadap perjuangan Islam” tegas M.Alfian. “Pernyataan
dan sikap perilakunya secara lahiriyah mengindikasikan
bahwa Gus Dur adalah kafir”, tegas Dja’far Umar Thalib
(Misbah, SABILI 18-22 Th.VII).

10 Pengamat masalah politik dan hukum Hartono Mardjono
melihat bahwa Presiden Abdurrahman Wahid melakukan
trik politiknya, dengan melontarkan ucapan dan isu
yang mengundang reaksi pro dan kontra, membuat orang
terjebak dalam kancah perdebatan tentang ucapan dan
isu yang dilontarkannya, membangun konflik horizontal
di kalangan elit politik, menebar benih pertentangan
(REPUBLIKA, Rabu, 17 Mei 2000, hlm 6).

11 Menuju istana, menjadi orang nomor satu di
Indonesia, bisa pula dicapai dengan politik “angguk
anggak, geleng amuh”, Ogah-ogah, tapi mau”, “yes for
no, no for yes”, “keinginan di tampilkan dalam
penolakan, penolakan ditampilkan dengan keinginan”.
Ketika pengajuan calon-calon Presiden 1999-2004,
Abdurrahman Wahid seolah-olah (pura-pura ?) tak
kepeningin, tak berminat, tak berambisi jadi Presiden.
Menuju istana. Setelah jadi Presiden, sekembalinya
dari berkeliling dunia, Presiden Abdurrahman Wahid
pernah melontarkan isu seolah-olah Amien Rais
berambisi jadi Presiden. Ini tampaknya merupakan
trade-mark gaya politik menyembunyikan ambisi pribadi.
Gaya politik mencapai tujuan misi dan ambisi dengan
kelihaian malu-malu (pura), dengan menebar
pertentangan, pro dan kontra, dikhotomi, dialektik,
memanfa’atkan ketakstabilan, dulu disebut politik
belah bambu, atau divide et impera.

12 Pengagum, penyanjung, pendukung Gus Dur memandang
bahwa Gus Dur itu orang yang tidak bisa dimanfa’atkan,
dikendalikan oleh siapa pun. Gus Dur itu sangat otonom
dalam melakukan apa saja. Sikap, pernyataan Gus Dur
yang kontroversial dipandang sebagai gaya, chiri khas
spesifik Gus Dur, bukan sebagai taktik, strategi,
manuver politik Gus Dur, bukan gaya “dalam dua tengah
tiga”, atau “tiga dalam satu, satu dalam tiga”, atau
angguk mengindikasikan ogah, geleng mengindikasikan
oke”.

13 Gus Dur tampaknya seorang penganut paham
pragmatisme – sebuah falsafah yang dipopulerkan oleh
Charles S Pierce (1905). Paham ini menetapkan
aspek-aspek praktis sebagai parameter benar salahnya
suatu pemikiran atau konsep. Dalam perspektif
pragtisme itu adalah wajar Gus Dur tetap “ngotot”
merangkul Israel, Lee Kuan Yew, Liem Bian Loen (Sofyan
Wanandi), karena mereka adalah “penguasa” dunia,
pemilik duit saat ini. Dalam perspektif pragmatisme
itu pula adalah adalah wajar Gujs Dur sangat partisan
terhadap paham demokrasi dan sekularisas. Ia mengikuti
garis pemikiran Huntington yang menyatakan, bahwa
demokrasi dan sekularisasi tak mungkin dipisahkan,
bahwa demokrasi mustahil dilakukan tanpa proses
sekullarisasi, karena demokrasi membutuhkan salah satu
prasyarat penting, yakni pemisahan agama dan negara.
Ia dikenal raajin mempromosikan gagasan penolakan
terehadap legislasi hukum Islam ke dalam hukum
nasional dan rajin menggugat otoritas Syar’iah dalam
semua aspek kehidupan. Tampaknya ia percaya terhadap
thesis Donald E Smith, yang menyatakan bahwa
sekularisasi adalah fenomena global yang tidak
mungkin dihindarkan sejak satu setengah abad yang
lalu. Namun tidak semua asspek langkah dan pemikiran
Gus Dur itu bercorak pragmatis. Ada yang tampak sangat
partisan dan ideologis, terutama dalam soal hubungan
keagamaan yang bersifat sinkretis (talbis). Tergantung
sikon dan kepentingan (Adian Husaini, SAKSI, No.11,
Thn II, 26 Janauari – 8 Februari 2000, hlm 38-39).

14 Gus Dur sangat terpengaruh HUMANISME. Dalam konteks
filsafat HUMANISME, manusia itu semuanya dianggap sama
(secara mutlak, baik Muslim, maupun Kafir, karena di
matanya semua agama adalah sama). Sayangnya Gus Dur
bukan seorang HUMANISME yang adil (konsekwen). Gus Dur
berpihak pada non-Islam. Gus Dur tidak simpatik dengan
tegaknya syari’at Islam. Tidak setuju dengan
pemberlakuan syari’at Islam. Menafsirkan al-Qur:an
seenaknya. Mengusulkan agar panitia Masjid Istiqlal
orang Kristen. Mengusulkan hubungan dagang dengan
Israel. Mengusulkan mencabut TAP XXV MPR. Menuduh
bahwa gejolak di Maluku akibat dianak-emaskannya
Islam. Untuk kepentingan bangsa tak apa menyembelih
tanpa bismillah (SABILI, No.6, 6 September 2000, hlm
45, 79, 83, 91, 93).

15 Gus Dur sangat santun kepada para konglomerat.
Dalam suatu kesempatan (pidato perpisahan), mantan
Menko Ekuin, Kwik Kian Gie mengatakan, bahwa dalam
rapat-rapat kabinet Presiden Gus Dur terang-terangan
membela (sangat melindungi) para konglomerat
(predator) kelas kakap semacam Syamsul Nursalim,
Prayogo Pangestu, Sofyan Wanandi, Marimutu Sinivasan.
Rasa-rasanya Gus Dur tak akan mungkin dapat membasmi
KKN dan menegakkan clean government, apalagi jika
benar-benar terlibat dalam skandal korupsi semacam
Buloggate, Bruneigate (SABILI, No.y, Th VIII, 20
September 2000, hlm 33, 83).
= Bekasi 28 Oktober 2000 =


<http://www.indopubs.com>
---

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home