Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Monday, November 10, 2008

Back
Tafsiran Fiqih atau Fiqih Aktual

Pada keadaan darurat, apakah tempat-empat pelaksanaan ibadah haji dapat dialihkan ke tempat lain, seperti halnya tempat shalat ‘id ketika sa’at hujan dialihkan dari lapangan ke masjid?

Pada keadaan darurat, apakah waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji dapat dialhihkan ke waktu-waktu lain, seperti halnya waktu shalat zhuhur ketika terik matahari diundur ke sa’at matahari sudah teduh (tak terik lagi)?

Apakah ibadah haji bisa dilakukan pada bulan haram (Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab, QS 9:36, 2:194) (Lihat juga Masdar Farid Mas’udi dalam Harian TERBIT, Jum’at, 1 Februari 2002, hal 6, Opini : “Menggagas Haji di luar Dzulhijjah”, oleh Arief Fauzi M, Harian KOMPAS, hal 37, “Tragedi Mina Versus Komersialisasi Ibadah”, hal 42, “Tragedi Kemanusiaan dalam Politik dan Kebudayaan”, oleh Abdul Munir Mulkhan).

Apakah hewan qurban dapat diganti dalam bentuk uang atau jasa, seperti halnya zakat fitrah yang dapat diqimat (dikurs, diganti) dalam bentuk uang?

Pada kondisi-keadaan suatu negeri (negara) sudah makmur sejahtera, apakah baitulmal dapat berfungsi sebagai mustahik (fi sabilillah) sebagai penerima (penyalur) zkat atau qurban?

Apakah hanya Umrah saja, ataukah juga Haji dapat dilaksanakan pada bulan Haram (1 Syawal – 10 Dzulhijjah)?

Apakah hanya haji ifrad yang harus menyediakan hadyu (domba kurban), ataukah juga haji tamattu’dan qiran harus menyediakan dam (domba kurban) yang akan disembelih dan disalurkan kepada faqir-miskin di Mina?

Apakah seluruh Wajib Haji dapat diganti dengan dam seekor sapi kurban, dan juga dapat dibayar dengan uang sesuai qimat-harga hewan kurban?

Latar belakang :

“Fiqih lintas Agama” (Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis) diusung bersama oleh Nurcholish madjid, Kautsar Azhar Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, Mun’im A Siry (SABILI, No.14, Th.XI, 30 Januari 2004, hal 104-106). Diintrodusir bahwa “Islam bukan sebagai agama yang paling benar”, bahwa “Semua Tuhan sama”, bahwa “Teologi inklusif-pluralis berkaitan dengan fiqih inklusif-pluralis”.

Untuk “menjawab tantangan masa kini” dituntut adanya “Fiqih Kontekstual”, Fiqih Global, “Kompilasi Fiqih” dalam segala hal (Ibadat, Tata-Keluarga, Tataniaga, Kas-Negara, Pidana, Tata-Hukum, Tatanegara, Antar Negara).

Prof Drs KH Hasbullah Bakry SH sangat intens menyerukan agar Fiqih Islam harus selalu dirobah disesuaikan dengan situasi dan kondisi, misalnya syarat-syarat poligami, syarat-syarat perceraian, cara-cara melakukan dakwah, pengertian mu’amalah bainal Muslim dalam negara (KIBLAT, No.3, Juli ke II-1985, Tahun ke XXXIII, hal 28, “Hukum Islam dalam Pandangan Ulama Mujtahid”). Sedikitnya ada 17 masalah tentang Fiqih Islam yang telah dibahas, dikupas Gasbullah Bakry dalam banyak tulisannya, yang merupakan kajian-ijtihadiyah-ilmiyah.

Menurut Prof Drs KH Hasbullah Bakry SH, untuk memahami Hukum Islam yang asli dan yang berobah-robah hendaklah dibedakan lebih dulu mana yang tasyri’iah dan mana yang fiqhiyah. Haruslah dibedakan lebih dulu mana yang Syari’at Islam, dan mana yang Fiqih Islam ( idem, hal 27. Kebetulan sebelum Hasbullah, sudah lebih dulu berbicara antara lain Sayid Qutub dan Zaki Yamani tentang itu. Simak Sayid Qutub : “Masyarakat Islam”, 1983:35-46, Bab II : “Penghayatan Islam”, Ahmad Zaki Yamani : “Syari’at Islam Yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini”, 1986:32-63, Bab Pertama : “Kemampuan Syari’at Buat Mengalami Pertumbuhan, Perkembangan dan Pembaharuan”).

Adalah menjadi penting mempertimbangkan gagasan tafsir profetik, fungsional dan pluralis dalam ibadah haji dan kurban serta praktik ritual lainnya (Abdul Muin Mulkhan : Tragedi Kemanusiaan dalam Politik dan Keberagamaan”, KOMPAS, Sabtu, 7 Februari 2004, hal 42). Perlu penafsiran baru tentang penyelenggaraan (manajemen) ibadah kurban bukan semata-mata dengan menyembelih hewan yang habis dikomsumsi sesaat, tetapi bagi kebaikan hidup jutaan manusia serta warganegaa yang miskin dan tertindas (idem). Perlu adanya tafsiran doktrinal tentang penyelenggaran haji dan melontar jumrah (idem). Perlu dikembangkan tafsir baru tentang waktu melontar jumrah (idem).

Para ulama sedunia perlu kembali mengkaji, membahas mengenai praktik-praktik ritual ibadah haji dan juga mengenai waktu penyelenggaraan haji dalam bulan-bulan haram (Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab). Para ulama perlu meninjau kembali hadits-hadits yang terlanjur dijadikan sebagai mitos atau legenda dalam melakukan ritual ibadah haji. Para pengelola haji perlu mengadakan pengaturan jadwal dan pengaturan arus jama’ah haji di Mina pada waktu melontar jumrah, agar supaya jama’ah haji yang berangkat untuk melontar tidak berpapasan dengan jema’ah yang pulang sudah melontar.

Pada umumnya orang cenderung bersikap tak kritis (taklid), terutama terhadap hal-hal yang mendasar, seperti terhadap sistem politik, hukum, sosial, ekonomi, spiritual. Sikap tak kritis (taklid) ini dalam melakukan ibadah haji, antara lain tampak pada kecenderungan orang memitoskan, mensakralkan, mengkuduskan, mengkramatkan, mengkhasiatkan yang berhubungan dengan urusan ibadah haji, padahal dalilsnya (dfasar hukumnya) lemah (tak jelas). Jema’ah haji sudah sa’atnya dibebaskan dari mitos-mitos (legenda-legenda) yang dalilnya (dasar hukumnya) lemah (tidak jelas) ini. Ada beberapa kebiasaan dalam ibadah haji yang dihidup-hidupkan (disakralkan) yang dalilnya (dasar hukumnya) lemah (tidak jelas). Kebiasaan mencium Hajar Aswad dalam ibadah haji adalah mitos atau legenda yang dihidup-hidupkan (disakralkan) yang tidak jelas dasar hukumnya. Ritual shalat arba’in 40 waktu selama delapan hari di Masjidil Haram dalam ibadah haji juga adalah mitos atau legenda yang dihidup-hidupkan (disakralkan) yang dalilnya lemah (Ahmad Syafi’I Ma’arif, Mudjahirin Thohir, KOMPAS, 7 Febrari 2004).

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafi’I ma’arif, semua ulama perlu mengkaji kembali pemikiran mengenai ibadah haji (KOMPAS, Sabtu, 7 Februari 2004, hal 37. Tapi siapa yang akan mengambil prakarsa untuk itu?). Sudah sa’atnya jema’ah haji dibebaskan dari mitos-mitos ibadah (idem). Kebiasaan mencium Hajar Aswad, Shalat Arbain 40 waktu selama delapan hari di masjid Nabawi perlu dikaji ulang (idem). Pemikiran bahwa haji bisa dilakukan dalam bulan Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah memerlukan keputusan ulama sedunia (idem).

Pemahaman keagamaan (sikap beragama, rasa religiositas) yang cenderung mistik-sufistik (fadhilah-individualistik). Secara umum, jemaah haji Indonesia melakukan penyakralan terhadap berbagai hal yang berkaitan atau dikait-kaitkan dengan persoalan haji. (Mudjahirin Thohir : “Di Balik Peristiwa Mina”, KOMPAS, 7 Februari 2004, hal 41). Memiliki emosionalitas yang berkelebihan yang dibalut dengan bahasa agama (Idem). Menykaralkan air zamzam, Hajar Aswad, Hijir Ismail secara berlebih-lebihan (idem). Terlalu terpaku pada fadhilah (waktu, tempat utama) dan kurang berkonsentrasi pada maksud-tujuan ibadah haji (idem). Tak menggunakan tata-cara thawaf arah arus jema’ah yang berisiko relatif kecil terjadinya musibah (bencana) sebagai acuan (rujukan, referensi) untuk menata (mengatur) arah arus jamah ketika melempar jamrah, sehingga tak terjadi tabrakan antara yang akan dan yang sudah melontar jmarah (idem).

Praktik keagamaan yang tak peduli kemanusiaan bertopeng kemahasucian Tuhan memicu teragedi kemanusiaan di sepanjang sejarah umat manusia (Abdul Munir Mulkhan). Praktik kesalehan keagamaan lebih sibuk mengurusi Tuhan tanpa advokasi profetik bagi kaum miskin dan tertindas yang tergusur dan kelaparan (idem). Praktik kesalehan tidak benar-benar bebas dari kekerasan ketka jutaan hujjaj berebut berdesakan mencium Hajar Aswad dan melempar setan dalam ritual jumrah di Mina Idem). Pelaku hujjaj seperti mengalami trans, ektase atau alkoholisme, sehingga cenderung mementingkan diri atas nama Tuhan (idem).

Islam menuntut kepedulian sosial yang tinggi disamping kepekaan spiritual yang dalam (hablum minallah wa hablum minannaas, QS 3:112), tak membiarkan tetangga (termasuk dalam arti luas) dalam kondisi sosial-ekonomi yang memprihatinkan (simak abtara lain HR AlBazar dari Anas dalam “Mukhtar alAhaadits anNabawiyah”, oleh asSayid Ahmad alHasyimi Beik, 1948:147, hadits no.1016, huruf Mim). Kesalehan beragama (seperti rajin melakukan ibadah shalat) tidak akan berarti bila tak peduli akan kondisi sosial-ekonomi sesama (simak antara lain QS 107:1-7). Menjenguk orang yang menderita sakit, memberi makan orang minta makan, memberi minum orang yang meminta minum adalah merupakan wujud bentuk dari indikasi kepekaan spirituaal, seperti dapat disimak dari Hadis Riwayat Muslim dari Abi Hurairah (dalam “Mutiara Hadits Qudsi”, oleh A Mudjab Mahali, 1980:60, Bab IV : “Kasih Sayang dan Dermawan”).

Dalam urusan haji disebutkan bahwa ada terminologi “Wajib Haji” yang berarti sesuatu yang perlu dikerjakan, tetapi shahnya haji tidak tergantung atasnya, dan boleh diganti dengan menyembelih binatang, seperti ihram di miqat, mabit (bermalam) di Muzdalifah, melontar Jamrah, mabit (bermalam) di Mina, thawaf wada’ (H Sulaiman Rasyid : “Fiqih Islam”, 1976:248-253).

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home