Site Feed

Search Engine Optimization and SEO Tools

Sunday, August 31, 2008

Bila Islam Berkuasa

Islam mengenal terminologi halal dan haram. Selain Islam tak kenal dengan halal dan haram. Dalam seluruh aktivitas kehidupan ada yang tergolong halal dan ada pula yang tergolong haram, baik dalam keidupan perorangaan, maupun dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara. Seseorang yang ingin melakukan tindak kejahatan akan berpikir beberapa kali. Bila ia lolos dari jeratan hukum di dunia, namun ia tak akan pernah luput dari ancaman hukum di akhirat. Bila fisiknya tak terjamah hukum, namun fisiknya tak akan pernah tenteram. “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (QS 16:93).

Dalam Islam sangat haram melanggar janji, mengkhianati perjanjian. Islam menuntut agar memenuhi janji, berlaku jujur. Dusta, khianat adalah perbuatan haram. “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabnya” (QS 17:34). Islam menuntut agar berkata benar, berlaku adil. “Dan apabila kamu berkata, maka hedaklah kamu berlaku adil kendatipun dia kerabatmu” (QS 6:152). Berbuat aniaya, berbuat sewenang-wenang adalah perbuatan haram. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS 7:55). Menipu, mengecoh, menyalahgunakan kekuasaan adalah perbuatan haram. Mengambil, menerima yang bukan hak adalah perbuatan haram. “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan yang batil” (QS 4:29). Mengkonsumsi miras meskipun milik sendiri adalah haram. Berjudi dengan uang sendiri adalah haram. “Sesunggunya meminum khamar, bejudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan” (QS 5:90). Berzina, meskipun suka sama suka adalah haram. “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah sesuatu perbuatan yang keji, dan satu jalan yang buruk” (QS17:32). Meskipun hak manusia tidak terlanggar, namun hak Allah terlanggar, maka perbuatan itu adalah haram.

Tindakan kejahatan tak akan pernah lenyap. Namun dalam Islam, orang akan berpikir berulang kali untuk melakukan tindak kejahatan. Ia boleh luput dari pengawasan manusia, namun ia tak pernah dapat menyelamatkan diri dari pengawasan Allah. “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (QS 16:93).

Keadilan Islam menyeluruh, tidak diskriminatif. Semua orang adalah sama di mata hukum. Tak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat. Keadilan yang sempurna itu hanya terdapat dalam Islam, baik secara teoritis maupun dalam praktek, terekam secara historis. “Maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengkuti hawa nafsu” (QS 38:26).

Islam datang membawa, menyebarkan “assalamu’alaikum wa ramatullahi wa barakatuh”. Menyebarkan salam, rahmat, berkat, keamanan, kedamaian, kesentosaan, kesejahteraan, kemakmuran kepada semua. Menyebarkan kesejahteraan spiritual maupun kesejahteraan material.

Sebenarnya tak ada celah untuk membenci Islam. Di celah mana Islam itu harus dibenci. Manusia-manusia yang berfikir logis-rasional dan membaca fakta sejarah secara kritis, pasti tak akan menemukan celah untuk membenci Islam. Seluruh orientalis yang jujur pastilah mengakui akan keunggulan, kebenaran Islam. Bahwa keadilan Islam itu sangat sempurna. Bahkan kebebasan dalam Islam itu sangat luas. Dalam Islam bebas berbuat kebaikan, namun sekali-kali tak bebas berbuat jahat, melakukan tindak kejahatan. “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam” (QS 2:256). Islam menyeru kepada kebaikan, agar melakukan yang makruf dan menjauhi yang munkar (simak QS 3:14), agar berlaku adil, peduli akan sesama, menjauhi perbuatan keji, permusuhan (simak QS 16:20).

Dalam Islam manusia dengan segenap urusannya adalah menjadi wewenang kekuasaan Allah. Mereka harus menyesuaikan budaya dan kehidupannya dengan nilai-nilai maanusiawi yang bersumber pada ajaran-ajaran Ilahi. Mereka harus mencurahkan segenap perhatiannya untuk mewujudkan kehidupan sosial yang Islami, masyarakat IMTAQ, masyarakat MARHAMAH. “Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan” (QS 2:208).

Mengacu pada data sejarah dan nash (Qur:an dan Sunnah), Siswa Supriyatno menyebutkan bahwa Islam tidak membatasi masa jabatan kepemimpinan. Islam tidak membenarkan mencalonkan dan mendaftarkan diri menjadi pimpinan negara. Islam menetapkan persyaratan peserta musyawarah (ahli syura) haruslah amanah. Islam tidak membenarkan pengambilan keputusan hukum mengacu pada suara terbanyak. Islam tidak mengenal unjuk kekuatan (ALMAMATER, Juni 2008, hal 12-13, Pesan Sejarah : “Mari Mamahami Satu Abad Kebangkitan Nasional”).

Andi Krisna Himawan andi_kh@yahoo.com menyebutkan bahwa Islam memerintahkan untuk membentuk Negara Daulah Khilafah. Kedaulatan di tangan Allah, sebagai pembuat syara’, sedangkan kekuasaan di tangan umat, yang diwakili oleh seorang Khalifah. Islam memerintahkan sistem politik “Amar Makruf Nahi Munkar”, bukan sistim Demokrasi Liberal (Date : Thru, 5 Apr 2001 2016:06-0700).

Prof Dr Hamka menyebutkan bawa pertumbuhan syura Islami hampir sama juga dengan pertumbuhan demokrasi. Raslullah saw tidaklah meninggalkan wasiat politik yang terperinci tentang teknik cara bagaimana menyusun syura itu. AlQur:an atau Hadits tidaklah mencampuri hal itu secara mendalam dan terperinci. Islam menanamkan dasar (prinsip), bahwa bermasyarakat dan bernegara itu wajib bermussyawarah. Dalam masyarakat harus ada syura (“Tafsir AlAzhar”, juzuk IV, 1983:152-153, re tafsir QS 3:159, “Syura sebagai Sendi Masyarakat Islam”).

Di dalam mendirikan sesuatu kekuasaan atau sesuatu pemerintahan, pokok pertama adalah menyerahkan amanat kepada ahlinya. Seluruh pelaksanaan pemerintahan, haruslah orang yang amanah, yang bisa memegang amanah. Kedua adalah menegakkan keadilan, menghukum dengan adil. Ketiga menta’ati tuntunan Allah dan RasulNya serta pimpinan (“Tafsir AlAzhar”, juzuk V, 1984:136, re tafsir QS 4:58-59). Nabi sengaja tidak meninggakan konsep tentang bentuk pemerintahan, adalah untuk memberi kebebasan mengaturnya. Yang ditinggalkan Rasulullah saw ialah syura, musyawarah. Bgamana tekniknya terserahlah kepada perkembangan kecerdasan sendiri, menilik ruang dan waktu (“Tafsir AlAzhar”, juzuk VII, 1982:81).

(BKS0808261430)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home